Seputar Keuangan Syariah, Perbankan Syariah, Investasi Syariah
Mengenal Bank Syariah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Gharib Jamal, salah
satu peletak batu pertama bank Islam dalam makalahnya Al-Masharif wa Buyut
At-Tamwil (hal. 45) menerangkan bahwa bank Islam adalah setiap lembaga yang
bergerak di bidang perbankan yang berkomitmen menjauhi sistem pembungaan
ribawi.
Dr. Abdullah As-Sa’idi
menyebutkan definisi yang lebih detail: “Lembaga perbankan berorientasi bisnis
yang dibangun di atas syariat Islam.” (Ar-Riba, 2/1021)
Menilik definisi di atas,
bisa kita simpulkan bahwa bank-bank syariah memiliki ruang gerak yang cukup
luas:
1. Bergerak di bidang
mashrafiyah (keuangan), dalam hal ini yang paling menonjol adalah masalah
wadi’ah (simpanan/deposito).
2. Bergerak di bidang
tijariyah (bisnis).
a. Sistem bagi hasil
(profit sharing)
Di dalamnya terdapat
masalah musyarakah (partnership, project financing participation), mudharabah
(trust financing, trust investment), muzara’ah (harvest yield profit sharing),
dan musaqah (plantation management fee based an certain portion of yield).
b. Sistem jual beli
(sale and purchase)
Di dalamnya terdapat
masalah
– Murabahah (deferred
payment sale/jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati)
– Bai’us Salam
(infront payment sale/pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan
pembayaran dilakukan di muka)
– Istishnaa’ (purchase
by order or manufacture/kontrak antara pembeli dan penyedia barang. Dalam
kontrak ini, penyedia barang menerima pesanan dari pembeli)
Dalam praktiknya,
bank-bank syariah mengembangkan ruang gerak mereka lebih luas seperti:
a. Bergerak di bidang
sewa/leasing (operational lease and financial lease/akad pemindahan hak guna
atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti perpindahan
kepemilikan atas barang atau jasa itu sendiri) yang dikenal dalam fiqih Islam
dengan nama ijarah.
b. Bergerak di bidang
jasa (fee-based services). Di dalamnya terdapat cukup banyak masalah antara
lain: wakalah (deputyship/ pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang
lain dalam hal-hal yang diwakilkan), kafalah (guaranty/jaminan yang diberikan
oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau
tertanggung), hiwalah (transfer services/ pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya, atau merupakan pemindahan
beban utang dari orang yang berutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban
membayar utang), rahn (mortgage/menahan salah satu harta benda tak bergerak
milik peminjam sebagai jaminan atau hipotek), dan qiradh (soft and benevolent
loan/pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
Dengan kata lain, meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan).
Dari definisi di atas,
juga nampak jelas komitmen yang menjadi landasan bank syariah, yaitu:
1. Semua upaya, usaha,
bisnis, dan gerak mereka harus dibangun di atas syariah Islam.
Komitmen ini
penerapannya cukup menyeluruh, meliputi hal-hal sebagaimana berikut:
a. Akad dan aspek
legalitas
Setiap akad dalam
perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan
lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, berupa rukun-rukunnya yang meliputi:
penjual, pembeli, barang, harta, akad, dan juga syarat-syaratnya, seperti:
– Barang dan jasa
harus halal
– Harga barang dan jasa
harus jelas
– Tempat penyerahan
(delivery) harus jelas
– Barang yang
ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu
yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi
shortsale1 di pasar modal.
b. Bisnis dan usaha
yang dibiayai
Dalam perbankan
syariah, suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal
pokok. Di antaranya:
– Apakah obyek
pembiayaan halal atau haram?
– Apakah proyek
menimbulkan kemadharatan untuk masyarakat?
– Apakah proyek
berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
– Apakah proyek
berkaitan dengan judi?
– Apakah proyek dapat
merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
c. Lingkungan kerja
dan corporate culture (budaya perusahaan)
Hal ini meliputi masalah
etika karyawan. Mereka harus bersifat amanah, shidiq (jujur), dan fathanah
(cerdas). Juga cara berpakaian dan tingkah laku para karyawan harus
mencerminkan bahwa mereka bekerja pada sebuah lembaga keuangan yang membawa
nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang
kasar.
2. Menjauhi dan
menghilangkan segala sesuatu yang mengandung unsur riba.
Komitmen ini tertuang
dalam beberapa ketetapan di hasil muktamar bank Islam internasional,
disampaikan oleh salah seorang pejabat teras mereka yang bernama Dr. Abdul Aziz
Najjar:
a. Bunga dari segala
transaksi qiradh (pinjam-meminjam) adalah riba yang diharamkan. Sebab nash-nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah secara tegas mengharamkan semua praktik qiradh dengan
sistem di atas.
b. Riba adalah haram,
sedikit atau banyak. Ini diambil dari pemahaman yang shahih terhadap firman
Allahf:
“Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran:
130)
c. Meminjamkan
sesuatu secara riba adalah haram, tidak diperbolehkan walaupun dalam kondisi
butuh atau darurat.
Mencari pinjaman
(meminjam) dengan cara riba adalah haram, berdosa, kecuali bila dalam kondisi
yang sangat darurat. Pernyataan ini dinukil dalam kitab Al-Mausu’ah Al-‘Ilmiyah
wal ‘Amaliyah lil Bunuuk Al-Islamiyah (3/126). (Lihat Ar-Riba, Dr. As-Sa’idi
(2/1021-1025), Bank Syariah, Antonio (hal. 29-34).
Wallahu a’lam.
1 Istilah yang lazim
dalam perdagangan sekuritas yang menunjukkan tindakan penjualan sekuritas yang
belum dimiliki penjual dengan harapan agar sekuritas tersebut menurun pada saat
penyerahannya sehingga dengan cara itu penjual akan mendapatkan laba. Misal: Si
A memperkirakan harga saham perusahaan X yang sekarang bernilai Rp 1.000,00 per
lembar akan menurun pada sesi berikutnya. Si A lantas melakukan transaksi
penjualan dengan si B (dalam keadaan si A belum memiliki saham perusahaan X).
Ketika pada sesi berikutnya, harga saham tersebut turun menjadi (misal menjadi
Rp 800,00), si A pun segera melakukan aksi beli saham perusahaan X untuk kemudian
diserahkan kepada B. Maka keuntungan si A pada saat penyerahan adalah Rp 200,00
dikalikan jumlah lembar saham yang berhasil dia jual.
Menapaki Sejarah Bank Syariah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Dewasa ini berkembang tren baru yang menyeruak dalam relung-relung
kehidupan anak bangsa, menyusup dari ingar-bingar suasana kota metropolitan
sampai keheningan wilayah pedesaan. Yakni semangat menampilkan nuansa “Islami”.
Di mana hampir semua aktivitas masa kini tak luput dari ‘hawa Islami’. Dari
perkara-perkara yang bener sampai perkara yang keblinger.
Sebut saja istilah “pacaran Islami”, “musik Islami”, “konser
religi”, “wisata religi”, “sinetron Islami”, “novel Islami”, “parpol
Islam”, dan seabrek istilah-istilah populer dengan aroma “Islami”.
Di satu sisi, kita sebagai seorang muslim merasa senang dengan
adanya geliat semangat berislam. Itu pertanda ada secercah harapan, Islam
menjadi sesuatu yang mereka sukai, jauh dari sikap antipati.
Namun di sisi lain, kita harus melakukan upaya penyaringan,
pembersihan, dan penyuluhan kepada segenap masyarakat tentang Islam yang benar
berdasarkan bimbingan Allahf dan Rasulullah ﷺ dengan
pemahaman as-salafush shalih. Sebab, tidak semua yang “beraroma Islami” itu
datangnya dari Islam. Tidak pula semua yang bernuansa Islami itu betul-betul
ajaran Islam yang murni. Bagi kita, yang penting bukanlah kilauan nama dan
istilah, namun yang dituntut adalah hakikat dan keabsahannya secara syariah.
Begitu pula yang sedang marak di dunia ekonomi. Kini istilah
“ekonomi Islam” dan “bank syariah”, membahana menjadi wajah baru yang tampil
sebagai pilar penting yang menghiasi ekonomi dunia. Bahkan dianggap sebagai
solusi urgen dalam menghadapi krisis keuangan global yang melanda dunia.
Bagaimanakah sepak terjang bank syariah dalam mengarungi dunia
ekonomi? Simak ulasan berikut yang mengupas secara global seputar bank syariah.
Sejarah Munculnya Bank Syariah
Sudah cukup lama dunia Islam, khususnya masyarakat Islam
Indonesia, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan
prinsip syariah (Islamic economic system) dapat diterapkan dalam segenap aspek
kehidupan bisnis dan transaksi umat. Hal ini dilatarbelakangi beberapa hal. Di
antaranya:
1. Kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total,
sebagaimana perintah Allah f dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara menyeluruh.” (Al-Baqarah: 208)
2. Kesadaran bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi dan Rasul
terakhir Muhammad bin Abdillah ﷺ adalah
syariat yang komprehensif, menyeluruh dan merangkum seluruh aspek kehidupan,
baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Bersamaan dengan itu, syariat
Islam juga universal, dapat diterapkan di setiap waktu dan tempat sampai hari
kiamat nanti.
3. Kenyataan bahwa selama ini yang mendominasi sistem
perekonomian dunia adalah sistem yang berbasis pada nilai-nilai riba, ditukangi
oleh tangan-tangan zionis dengan menebarkan wadah dalam bentuk bank-bank
konvensional yang merupakan kepanjangan tangan dari riba jahiliah yang dulu
dimusnahkan oleh Rasulullah ﷺ
Namun pada kenyataannya, keinginan tersebut tidak mudah
diwujudkan di alam nyata. Bahkan mengalami hambatan cukup besar di tubuh
muslimin sendiri apalagi dari pihak non-muslim. Masih banyak kalangan yang
berpandangan bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang. Islam
hanya menangani masalah-masalah ritual keagamaan, dengan anggapan, itu adalah
dunia putih. Sementara bank dan pasar uang adalah dunia hitam, penuh tipu daya
dan kelicikan.
Maka tidaklah mengherankan bila ada sejumlah “cendekiawan” dan
“ekonom” melihat Islam, dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya, sebagai
faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth). Penganut paham
liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan
keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai
normatif dan rambu-rambu Ilahi.
Belum lagi ditambah dengan merambahnya “kemalasan
intelektual” yang cenderung pragmatis sehingga memunculkan anggapan bahwa
praktik pembungaan uang, seperti yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan
ciptaan zionis (baca: bank konvensional) sudah ‘sejalan’ dengan ruh dan
semangat Islam. Para ‘alim ulama’ dan ‘kaum cendekia’ pun tinggal membubuhkan
stempel saja.
Dalam situasi dan kondisi yang tidak menentu seperti gambaran di
atas, lahirlah sistem perbankan syariah.
Upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing (untung dan
rugi ditanggung bersama, red.) tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun
1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional.
(Bank Syariah, dari Teori ke Praktik hal. 18, Mohammad Syafi’i Antonio cet.
Gema Insani-Tazkia Cendekia)
Rintisan institusional lain yang cukup signifikan dalam upaya
pengembangan bank syariah adalah upaya percobaan yang dilakukan Bank IDDI Khor
(rural social bank)1 yang mendirikan lembaga keuangan bernama Mit Ghamr Bank,
didirikan di Mesir tahun 1963 M. Para pendirinya adalah Prof. Dr. Ahmad Najjar,
Isa Abduh, dan Gharib Jamal.
Uji coba ini ternyata membuahkan hasil yang cukup spektakuler.
Dalam kurun waktu empat tahun, Mit Ghamr Bank sudah memiliki tujuh cabang di
lokasi sekitarnya, melebarkan sayap di empat tempat, dan mendirikan pusat
litbang (penelitian dan pengembangan) untuk melayani permintaan di berbagai
tempat yang ingin membuka bank serupa. Setelah itu, mereka pun mengepakkan
sayap ke dunia internasional khususnya dunia Islam.
Semenjak itu, kajian, diskusi, seminar, dan pertemuan-pertemuan
untuk mengembangkan bank syariah pun semakin marak sampai pada tingkat sidang
menteri luar negeri negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi
Islam (OKI).
Akhirnya, lahirlah Bank Pembangunan Islam atau Islamic
Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah dengan semua negara anggota
OKI sebagai anggotanya.
Di tahun yang sama, muncul Bank Islam Dubai (Dubai Islamic
Bank). Pada akhir periode 1970-an serta awal 1980-an, bank-bank syariah
bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia,
Banglades, dan Turki.
Sementara di tanah air, bank syariah baru muncul dengan
ditandatanganinya akta pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada
tanggal 1 Nopember 1991. BMI ini lahir berkat hasil kerja TPMUI (Tim Perbankan
Majelis Ulama Indonesia). Setelah itu bermunculan bank-bank syariah lainnya.
Ada yang secara khusus, ada pula bank-bank konvensional yang membuka
sub-syariah seperti BNI Syariah, Syariah Mandiri, Niaga Syariah, Mega Syariah,
dan sebagainya.
Hasilnya, bank-bank syariah sekarang menjadi ikon baru dalam
dunia perbankan dan perekonomian dunia. Aset mereka menggelembung secara
siginifikan dari tahun ke tahun.
Suatu hal yang patut juga dicatat adalah saat nama besar dalam
dunia keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Fleming, ANZ, Chase
Chemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain telah membuka cabang dan
subsidiaries (anak perusahaan, red.) yang berdasarkan syariah.
Dalam dunia pasar modal pun, Islamic Fund (Reksa Dana Syariah,
red.) kini ramai diperdagangkan. Suatu hal yang mendorong singa pasar modal
dunia, Dow Jones untuk menerbitkan Islamic Dow Jones Index. Oleh karena itu,
tak heran jika Scharf, mantan direktur utama Bank Islam Denmark yang beragama
Kristen itu menyatakan bahwa bank Islam adalah partner baru dalam pembangunan.
(Lihat Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrafiyah Al-Mu’ashirah, 2/1017-1020, karya
Dr. Abdullah As-Sa’idi, dan Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hal. 18-27,
Mohammad Syafi’i Antonio)
HUKUM JUAL BELI SAHAM & OBLIGASI
http://asysyariah.com/hukum-jual-beli-saham-obligasi/
Tidak diragukan bahwa banyak transaksi yang berlangsung di
masa ini dalam bentuk jual beli saham dan obligasi. Ini merupakan salah satu
aktivitas yang dijalankan oleh bank-bank komersial.
Oleh karena itu, kami akan menyebutkan definisi
masing-masing dan perbedaan antara keduanya kemudian hukum
memperjualbelikannya.
Definisi Saham & Obligasi
Saham merupakan satuan nilai dari modal sebuah perusahaan
dagang atau real estate, atau perusahaan industri perusahaan milik atau
kontrak. Obligasi adalah surat berharga atau instrumen yang mengandung
perjanjian dari sebuah perusahaan atau bank (penerbit obligasi), yang diberikan
kepada pemegang obligasi untuk memberikan nominal tertentu pada waktu tertentu,
dengan imbalan suku bunga yang ditentukan disebabkan transaksi pinjaman yang
dilangsungkan oleh pihak perusahaan atau instansi pemerintah atau perseorangan.
Sebuah perusahaan terkadang membutuhkan modal dalam jumlah
besar untuk memperluas usahanya. Perusahaan tersebut membutuhkan pihak yang
meminjami modal dengan pelunasan dalam jangka panjang.
Maka dari itu, perusahaan terpaksa menawarkannya kepada
publik dengan menerbitkan surat berharga dalam bentuk obligasi dan menjualnya
kepada publik dengan perjanjian bahwa tiap obligasi akan mendapatkan suku bunga
tertentu setiap tahun, sampai waktu yang disepakati, lalu pinjaman tersebut
dikembalikan sepenuhnya.
Transaksi jual beli obligasi telah biasa terjadi antara
perorangan, sehingga menjadi hal yang wajar ketika seorang pemilik obligasi
menjualnya kepada pihak lain, dan begitu seterusnya.
Perbedaan Saham & Obligasi
Saham merupakan satu bagian dari modal perusahaan sehingga
pemiliknya merupakan pemilik sebagian modal perusahaan seukuran dengan kadar
sahamnya.
Adapun obligasi merupakan sebuah piutang atas perusahaan
sehingga perusahaan berutang pada pembawa surat obligasi tersebut.
Obligasi memiliki jangka waktu tertentu untuk dilunasi.
Adapun saham tidak diberikan kepada pemiliknya melainkan
saat pembubaran atau likuidasi perusahaan tersebut.
Pemegang saham merupakan seorang yang berserikat dalam
perusahaan tersebut.
Dia berisiko rugi dan berkemungkinan untung, seiring dengan
keberhasilan perusahaan atau kegagalannya. Nilai keberuntungannya tidak
terbatas, bisa jadi untungnya besar, bisa jadi pula kerugiannya yang besar.
Para pemegang saham saling berbagi keuntungan perusahaan dan
berbagi kerugiannya.
Adapun pemegang surat obligasi, dia memiliki keuntungan
tetap yang terjamin saat memberi pinjaman sesuai dengan perjanjian dalam
penerbitan obligasi tersebut, tidak bertambah atau berkurang. Selain itu, dia
tidak menanggung risiko kerugian.
Ketika terjadi likuidasi atau pembubaran, prioritas pertama
adalah para pemegang surat obligasi, karena hal itu merupakan utang perusahaan.
Pemilik saham mendapat sisa setelah dilunasinya utang.
Hukum Jual Beli Saham
Dilihat dari sisi usaha perusahaan tersebut, saham dapat
dibagi menjadi dua:
Saham sebuah perusahaan yang haram, atau saham
perusahaan yang berpenghasilan haram.
Contohnya, badan perbankan yang mengelola usaha-usaha
ribawi, perusahaan judi, produsen visual pornografi atau pornoaksi, perusahaan
miras, dan hal yang haram semisalnya. Jual beli saham perusahaan yang seperti
ini hukumnya haram. Sebab, ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan
sesuatu, Dia subhanahu wa ta’ala mengharamkan pula hasil penjualannya.
Selain itu, membeli saham perusahaan seperti ini termasuk
ikut serta dalam dosa dan bantu-membantu padanya. Padahal Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
وَلَا
تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam hal dosa dan
permusuhan.” (al-Maidah: 2)
Saham sebuah
perusahaan yang mubah.
Misalnya, sebuah perusahaan perdagangan yang mubah atau
industri yang mubah. Pada perusahaan semacam ini, boleh kita menanam saham
dengan syarat perusahaannya jelas dan tidak terdapat unsur penipuan atau
kemajhulan yang parah. Sebab, saham merupakan bagian dari modal usaha yang
memberi keuntungan pada pemilik modal dari usahanya tersebut, baik dalam bentuk
industri maupun perdagangan. Hal ini jelas halal, tanpa keraguan.
Sanggahan
Pada jual beli saham, umumnya pembeli dan penjual tidak
mengetahui semua milik perusahaan, sehingga jual beli ini ada unsur gharar atau
jahalah, yakni ketidaktahuan terhadap barang yang diperjualbelikan.
Jawaban
Walaupun terdapat unsur jahalah dalam jual beli saham,
tetapi jahalah pada kadar semacam itu dimaafkan karena jahalah pada kadar
tersebut tidak mengakibatkan perselisihan. Jahalah yang menghalangi sahnya akad
adalah yang berakibat tidak memungkinnya akad dilangsungkan atau menimbulkan perselisihan.
Contohnya, penjualan seekor kambing dari sekumpulan kambing
yang berbeda-beda tanpa ditentukan kambing yang mana. Dalam kasus ini, penjual
biasanya menginginkan untuk memberikan kambing yang terkecil, sementara pembeli
umumnya menginginkan kambing yang paling bagus dan mahal. Akibatnya, keduanya
akan bertikai dan menghambat terlaksananya transaksi jual beli.
Adapun jahalah dalam masalah ini tidak berakibat pertikaian,
karena jual beli tersebut terjadi pada sebagian tertentu. Alasan lainnya adalah
orang-orang membutuhkan transaksi jual beli ini. Apabila jual beli ini
dilarang, akan terjadi mudharat yang cukup besar. Sementara itu, Penetap
syariat tidak mengharamkan apa yang diperlukan manusia hanya karena
ketidakjelasan yang kadarnya tidak banyak.
Oleh karena itu, dibolehkan menjual buah di pohon setelah
tampak matangnya dan terus dibiarkan sampai dipetik, walaupun sebagian yang
terjual belum ada. Sebagian ulama juga membolehkan jual beli yang masih ada
dalam tanah, seperti wortel dan sejenisnya. Demikian pula jual beli buah yang
kulitnya menjadi pelindungnya, seperti anggur, delima, pisang, semuanya masih
dengan kulitnya. Ini adalah kesepakatan ulama.
Apalagi jika pada barang yang dijual ada sesuatu yang
menunjukkan hal yang tidak terlihat, jual belinya diperbolehkan menurut
kesepakatan ulama. Demikian pula tentang sebuah perusahaan yang keberhasilan
atau kegagalannya bisa ditunjukkan oleh apa yang tampak.
Di samping itu, jual beli gharar dilarang karena
mengakibatkan tindakan memakan harta manusia dengan cara yang batil. Apabila
hal ini tidak dilakukan dan mengakibatkan mudarat yang lebih besar, hal
tersebut boleh dilakukan demi menanggulangi mudarat yang lebih besar dengan
melakukan mudarat yang lebih kecil. Ini merupakan kaidah yang telah tetap dalam
syariat.
Hukum Jual Beli Obligasi
Telah dijelaskan di atas bahwa obligasi merupakan utang yang
berbunga karena obligasi merupakan utang atas perusahaan. Pemegang obligasi
berhak mendapatkan suku bunga tertentu setiap tahun, sama saja apakah perusahaan
beruntung atau merugi.
Berdasarkan hal ini, obligasi merupakan transaksi ribawi
sehingga sejak awal penerbitannya sudah tidak syar’i. Dengan demikian, jual
belinya pun tidak syar’i, dan pemegangnya tidak boleh menjualnya.
(Diterjemahkan dan diringkas dari kitab ar-Riba wal
Mu’amalat al-Mashrafiyyah, karya Dr. Umar bin Abdul Aziz al-Mutrik, wafat 1405
H)
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi
KETENTUAN-KETENTUAN MUDHAROBAH
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Islam mengatur mudharabah dengan ketentuan-ketentuan baku yang
tidak boleh dilanggar agar sistem mudharabah tersebut syar’i. Jauh dari praktik
ribawi, bersih dari noda pertaruhan dan judi.
Secara garis besar,
ketentuan-ketentuan tersebut bermuara pada lima hal:
1. Modal (رَأْسُ الْمَالِ)
2. Kerja (الْعَمَلُ)
3. Keuntungan/Laba (الرِبْحُ)
4. Pemodal (صَاحِبُ الْمَالِ) dan pengelola (الْعَامِلُ/
الْمُضَارِبُ) yang biasa disingkat dengan (الْعَاقِدَانِ)
yakni kedua belah pihak yang melakukan kontrak kerjasama usaha.
5. Akad/ijab qabul (الصِّيْغَةُ)
Modal (رَأْسُ الْمَالِ)
Para ahli fiqh
menyebutkan beberapa ketentuan terkait dengan masalah modal, walau sebagian
besarnya masih dalam perbincangan di antara mereka. Di antaranya adalah:
1. Modal harus berupa
alat bayar (نَقْدٌ) dalam hal ini adalah
mata uang, baik dinar, dirham, ataupun yang lain.
Ibnu Qudamah t dalam
Al-Mughni (6/418) menjelaskan: “Tidak ada khilaf (di kalangan ulama) tentang
kebolehan menjadikan dirham dan dinar sebagai modal. Karena berfungsi sebagai
mata uang dan alat bayar. Semenjak zaman Nabi ﷺ sampai sekarang, orang-orang melakukan syirkah dengan
modal tersebut tanpa ada pengingkaran.”
Al-Imam An-Nawawi t
juga menukilkan ijma’ ulama dalam Ar-Raudhah. Lihat Takmilah Al-Majmu’ (15/103)
karya Al-Muthi’i.
Dalam hal menjadikan
sebuah barang (عُرُوضٌ) sebagai modal, ada
perselisihan di kalangan ahli fiqh. Bagi sebagian ahli fiqh yang
memperbolehkannya, modal yang dianggap adalah nilai barang tersebut di saat
akad, sedangkan laba rugi ditentukan sesuai persyaratan yang disepakati kedua
belah pihak. Ketika akad mudharabah selesai (فَسَخٌ),
kedua belah pihak mengembalikan modal awal dalam bentuk nilai barang tersebut
saat akad. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Thawus, Auza’i, Hammad
bin Abi Sulaiman, dan satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal. (Al-Mughni, 6/419)
Pendapat ini
dirajihkan Asy-Syaikh Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (4/256).
2. Modal harus
diketahui secara pasti jumlah nominalnya (مَعْلُومُ
الْقَدَرِ) dan telah diberikan (مُعَيَّنٌ).
Ibnu Qudamah t
mengatakan: “Termasuk persyaratan mudharabah adalah modal harus diketahui
jumlah nominalnya, dan tidak diperbolehkan bila majhul (tidak diketahui)
nominalnya atau juzaf (sesuatu yang dikira-kira tanpa ada timbangan atau
takaran)….” (Al-Mughni, 6/422 dan 6/500).
Ini adalah madzhab
Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad rahimahumallah. Dampak negatif yang
ditimbulkan karena ketidakjelasan nominal sebuah modal adalah:
a) Ketika akad
mudharabah selesai, berapa modal yang harus dikembalikan?
b) Hal tersebut rawan
perselisihan dan memicu persengketaan.
c) Akan muncul banyak
ketimpangan dan permasalahan saat usaha dijalankan.
Masalah 1: Si A punya
uang dengan nominal tertentu dipinjam si B. Apakah boleh si A menjadikannya
sebagai modal mudharabah dengan si C?
Al-Imam An-Nawawi t
menjawab dalam Raudhah-nya. “Kalau seandainya dia punya piutang pada seseorang
lalu berkata kepada pihak ketiga: ‘Aku lakukan akad qiradh denganmu. Modalnya
adalah piutangku pada si fulan. Ambil dan kelolalah untuk sebuah usaha’ atau
dia berkata ‘Aku adakan akad qiradh denganmu. Ambil piutangku dan pakai
sebagai modal usaha’ atau dia berkata ‘Ambil piutangku, jika sudah kamu pegang
maka itu sebagai modal qiradh antara kita.’
Ini semua tidak sah.
Bila sang amil (pengelola) sudah mengambilnya dan mengelola sebuah usaha, maka
dia (si A) tidak berhak mendapatkan laba yang dipersyaratkan. Semua harta milik
pemodal (shahibul maal), sedangkan sang amil hanya mendapatkan upah sebagai
pegawai.
Begitu pula jika dia
berkata kepada pihak yang berutang, ‘Aku adakan akad qiradh denganmu. Modalku
adalah harta yang kamu pinjam.’ Ini semua tidak sah.” (Takmilah Al-Majmu’
15/103, Al-Mughni 6/498)
Ketentuan sahnya akad
mudharabah dengan kondisi di atas adalah dia harus mengambil terlebih dahulu
harta tersebut (قَبْضٌ). Setelah ada di
tangan, baru dia jadikan sebagai modal dalam akad mudharabah/qiradh.
Masalah 2: Bila si A
punya uang yang dititipkan kepada si B, bolehkah dia jadikan modal mudharabah
dengan si C?
Jawabnya:
Ada khilaf, yang rajih
adalah diperbolehkan kecuali bila uang tersebut hilang. Maka tidak
diperbolehkan sebab kasusnya akan sama dengan uang piutang dan ini adalah
pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad rahimahumallah (Al-Mughni 6/500-501).
3. Tidak
dipersyaratkan modal mudharabah diserahkan sepenuhnya kepada amil (mudharib/pengelola).
Sebab menurut pendapat
yang lebih rajih, sang pemodal juga diperbolehkan ikut terjun dalam usaha
mudharabah dan laba dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Ini adalah
pendapat Hambali yang dirajihkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (6/435).
Bahkan, bila sang
pemodal mensyaratkan salah seorang pegawainya ikut serta dalam mengelola usaha,
juga diperbolehkan dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat g.
4. Dalam akad syirkah
secara umum, tidak dipersyaratkan kesamaan jenis mata uang dalam modal.
Masalah ini terjadi
bila kedua belah pihak menjadi pemodal dan yang menjadi pengelola adalah salah
satu atau keduanya, seperti pada syirkah ‘anan.
Maka diperbolehkan
misalnya salah satunya mengeluarkan modal dalam bentuk rupiah, sementara yang
lain dalam bentuk dolar.
Namun Asy-Syaikh Ibnul
‘Utsaimin t memberikan catatan, apabila kurs (nilai tukar) kedua mata uang
tersebut baku tidak berubah-ubah. Jika sering terjadi perubahan (fluktuatif)
maka modal harus dari mata uang sejenis. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/255, 264)
5. Apakah
diperbolehkan mencampur modal dengan yang lainnya?
Masalah ini ada
beberapa gambaran dengan hukum yang beragam:
a) Percampuran modal
dua orang yang berserikat baik yang mengelola salah satu atau keduanya. Masalah
ini terjadi pada syirkah ‘anan.
Pendapat yang rajih
adalah tidak dipersyaratkan percampuran dua modal menjadi satu dalam usaha.
Bahkan boleh masing-masing mengelola modalnya dalam sebuah usaha. Laba
masing-masing usaha dibagi dua antara mereka.
Untuk lebih jelasnya,
para ulama membagi “percampuran” menjadi dua:
• Percampuran total (اخْتِلَاطٌ تَامٌّ)
Yaitu mencampur dua
modal menjadi satu untuk usaha yang dikelola secara bersama oleh kedua belah
pihak. Jenis ini dipraktikkan di kalangan madzhab Syafi’i.
• Percampuran tempat (اخْتِلَاطُ الْمَكَانِ)
Maksudnya kedua modal
disatukan di sebuah lokasi namun masing-masingnya dikelola dalam usaha yang
berbeda.
Misal: sebuah
supermarket, di sisi kanan untuk modal A dengan usaha A dikelola sendiri oleh
pemilik modal. Sedangkan di sisi kiri untuk modal B dengan usaha B juga
dikelola oleh pemodalnya sendiri.
Jenis ini dipakai oleh
madzhab Maliki.
Pendapat yang shahih
kedua percampuran di atas diperbolehkan. Ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad t
dan dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t dalah Asy-Syarhul Mumti’ (4/264).
b) Percampuran modal
mudharabah dengan harta sang amil (pengelola).
Pada prinsipnya, sang
amil hanya mengelola modal mudharabah dengan shahibul maal (pemodal) dengan
kesepakatan antara keduanya:
“Tidak diperbolehkan
mencampur harta mudharabah dengan harta dia sendiri. Jika dilakukan dan tidak
bisa diidentifikasi maka dia harus mengganti. Sebab, harta (mudharabah) adalah
amanah. Kedudukannya sama dengan harta titipan (wadi’ah).” Demikian penjelasan
Ibnu Qudamah t (Al-Mughni 6/464).
Adapun bila sang amil
mengelola modal mudharabah untuk suatu usaha, di saat yang sama dia lupa
mengelola hartanya sendiri, maka tidak boleh ada percampuran antara dua harta.
Laba mudharabah bersendiri dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan laba usaha
sendiri untuk diri pribadi. (Al-Mughni 6/467)
Keadaan di atas
dikecualikan bila ada izin dari shahibul maal baik izin umum, menurut sebuah
pendapat, maupun izin khusus, menurut pendapat yang lain.
c) Percampuran dua
modal dari shahibul maal. Ada dua keadaan:
– Shahibul maal
(pemodal) dalam waktu bersamaan menyerahkan dua modal sekaligus kepada ‘amil.
Hal ini diperbolehkan
bila sang pemodal mempersyaratkan percampuran modal. Bila ada syarat tersebut,
maka sang ‘amil boleh mencampur kedua modal, baik besar modal keduanya sama
atau berbeda, persentase bagi hasilnya sama maupun ada perbedaan.
• Shahibul maal
menyerahkan dua modal pada waktu yang berbeda. Percampuran modal diperbolehkan
dengan dua ketentuan:
• Shahibul maal
menyerahkan modal ke-2 sebelum ‘amil mengelola modal pertama
– Adanya syarat
percampuran modal
(Ar-Riba fil Mu’amalah
Al- Mashrafiyyah 2/1089, Dr. Abdullah As-Sa’idi. Lihat Al-Mughni 6/480)
d) Percampuran modal
dari dua shahibul maal (pemodal) atau lebih.
Masalah ini ada
kaitannya dengan salah satu pembahasan (amal/kerja) yang akan dibahas pada
poin-poin berikutnya.
Wallahu a’lam.
Kerja (الْعَمَلُ)
Ada beberapa ketentuan
yang harus diperhatikan sang amil dalam mengelola harta/modal mudharabah.
1. Tidak diperbolehkan
bagi sang amil baik dia pemodal atau pengelola, membeli dan atau menjual segala
sesuatu yang diharamkan dalam syariat.
Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi t menyatakan: “Tidak diperbolehkan bagi sang amil membeli khamr atau
babi, baik keduanya (pemodal dan pengelola) muslim atau salah satunya muslim yang
lainnya dzimmi1. Bila dia lakukan maka wajib ganti rugi. Ini juga pendapatnya
Asy-Syafi’i….” (Al-Mughni 6/464-465)
Alasannya sangat
jelas, seorang muslim tidak diperkenankan melakukan praktik jual beli barang
haram. Begitu pula dzimmi, dia dilarang membelikan sesuatu yang tidak boleh
dimiliki oleh seorang muslim.
2. Taqyiidul
mudharabah (تَقْيِيدُ الْمُضَارَبَةِ)
Maksudnya adalah sang
pemodal mempersyaratkan pada akad mudharabah, modal dikelola sang amil pada
jenis usaha tertentu.
Misal: dijalankan pada
usaha yang bergerak di bidang makanan, properti, atau yang lainnya.
Atau pada pasar
tertentu, misal modal hanya dikelola di pasar Surabaya atau daerah lain secara
khusus.
Atau pada pihak-pihak
tertentu. Misal: sang amil hanya boleh melakukan jual beli dari saudagar A.
Masalahnya adalah,
apakah diperbolehkan secara hukum syar’i?
Jawabnya adalah:
Mudharabah dibagi dua:
a) Mudharabah
Muthlaqah (مُضَارَبَةٌ مُطْلَقَةٌ)
Yaitu mudharabah yang
bersifat tak terbatas (unrestricted), sang pemilik dana memberikan otoritas dan
hak sepenuhnya kepada mudharib (pengelola) untuk memutar uangnya.
b) Mudharabah
Muqayyadah (مَضَارَبَةٌ مُقَيَّدَةٌ)
Yaitu mudharabah yang
bersifat terbatas (restricted) sebagaimana digambarkan di awal.
Ada khilaf di kalangan
para fuqaha:
• Madzhab Malikiyah
dan Syafi’i tidak membolehkannya, dengan alasan membatasi ruang gerak sang
‘amil, khususnya bila barang yang dipersyaratkan sulit ketersediaannya (di
pasaran).
• Madzhab Hambali dan
Hanafi membolehkannya karena tidak bertentangan dengan prinsip mudharabah. Juga
tidak meniadakan keuntungan secara total walaupun mungkin menguranginya.
Pendapat ini lebih mendekati (kebenaran), dirajihkan oleh Ibnu Qudamah t dalam
Al-Mughni (6/491). Lihat Ar-Riba (2/1032-1036).
3. Tauqiitul
Mudharabah (تَوْقِيتُ الْمُضَارَبَةِ)
Maksudnya adalah
shahibul maal (pemodal) menentukan tempo tertentu dalam akad mudharabah, di
mana sang ‘amil tidak lagi diperbolehkan mengelola modal setelah jatuh tempo
dan mudharabah dianggap selesai.
Misal: Pemilik dana
melakukan akad mudharabah dengan pengelola selama satu tahun atau satu bulan.
Jumhur ulama
berpendapat, mudharabah tidak boleh ditentukan waktunya.
Namun pendapat yang
rajih adalah diperbolehkan adanya akad mudharabah dengan tempo tertentu sesuai
kesepakatan kedua belah pihak. Alasannya adalah:
• Tidak mengandung
unsur riba
• Tidak mengandung
unsur gharar (pertaruhan)
• Tidak meniadakan
konsekuensi akad
• Tidak meniadakan
keuntungan usaha secara total walaupun mungkin terjadi kekurangan.
Ini adalah pendapat
madzhab Hanafi, satu riwayat dalam madzhab Hambali, dirajihkan Ibnu Qudamah t
dalam Al-Mughni (6/492) dan Dr. Abdullah As-Sa’idi dalam Ar-Riba (2/1036-1045).
Alhasil, mudharabah
dilihat dari sisi temponya dibagi menjadi dua:
• Mudharabah
Mu’ajjalah (مُضَارَبَةٌ مُعَجَّلَةٌ)
Yaitu mudharabah
dengan batasan tempo tertentu sesuai kesepakatan. Mudharabah ini selesai dengan
jatuhnya tempo.
• Mudharabah Ghairu
Mu’ajjalah (مُضَارَبَةٌ غَيْرُ مُعَجَّلَةٍ)
Yaitu mudharabah tanpa
ada batasan tempo tertentu dan dianggap selesai (fasakh/ فَسَخٌ) dengan beberapa sebab:
– Kedua belah pihak
atau salah satunya membubarkan akad mudharabah.
– Kematian salah satu
atau keduanya.
– Keduanya atau salah
satunya mengalami kegilaan (gangguan jiwa).
– Terjadi hajar (هَجَرٌ), penyitaan harta karena keduanya atau
salah satunya diklaim sebagai safiih (سَفِيهٌ)
yakni pihak yang tidak layak mengelola harta. (Al-Mughni 6/485)
4. Mudharabatul
Mudharib (مَضَارَبَةُ الْمُضَارِبِ)
Maknanya adalah
mudharib (amil) menyerahkan modal mudharabah dari shahibul maal kepada amil
lain dengan akad mudharabah. Dengan kata lain, sang amil melakukan akad
mudharabah dengan amil lain dengan modal shahibul maal.
Ringkasnya, pada
masalah ini ada tiga pihak yang terkait: shahibul maal (pemodal), mudharib (amil
bagi shahibul maal), dan amil lain/pihak ketiga (amil bagi mudharib). Modal
yang dipakai adalah modal dari shahibul maal.
Masalah ini menjadi
perbincangan panjang di kalangan fuqaha. Ringkasnya, pada masalah ini ada
beberapa keadaan:
a. Akad dilakukan tanpa
seizin shahibul mal.
Para fuqaha dari semua
madzhab melarang praktik akad seperti ini.
Al-Imam Malik t
menyatakan, “Sang amil tidak diperbolehkan melakukan akad qiradh (mudharabah)
dengan pihak lain kecuali dengan perintah/instruksi shahibul maal.” (Al-Mudawwanah,
5/104)
Ibnu Qudamah t dalam
Al-Mughni (6/461) menguraikan, “Tidak diperbolehkan bagi mudharib (amil)
menyerahkan harta (modal) kepada pihak lain sebagai akad mudharabah….”
b. Akad dilakukan
dengan seizin shahibul maal
Para fuqaha membagi
izin ini menjadi dua:
1) Izin secara umum (إِذْنٌ عَامٌّ)
Seperti ucapan
shahibul maal kepada amil: “Kelola modal ini sekehendakmu/menurut pandanganmu.”
Madzhab Hanafi dan
madzhab Hambali menganggap sah perizinan secara umum ini, sehingga sang amil
bisa melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.
Sebagian fuqaha
mensyaratkan adanya izin khusus dari shahibul maal, dan pendapat ini yang lebih
tepat, khususnya di zaman sekarang, dengan alasan:
– Lemahnya amanah dan
agama keumuman orang.
– Kemudahan fasilitas
masa kini, khususnya alat komunikasi, sehingga memudahkan bagi amil untuk
meminta izin secara khusus kepada shahibul maal. (Lihat Ar-Riba 2/1062)
2) Izin secara khusus
(إِذْنٌ خَاصٌّ)
Yaitu perizinan secara
khusus dari shahibul maal kepada amil, seperti ucapan: “Silakan melakukan akad
mudharabah dengan pihak lain.”
Seluruh fuqaha
menganggap izin khusus ini sebagai legalitas untuk pengesahan akad. Bila sang
amil sudah mengantongi izin khusus dari shahibul maal, maka dia bisa melakukan
akad mudharabah dengan pihak lain dengan modal yang ada. Masalahnya adalah,
apakah sang amil (pengelola pertama) mendapatkan laba dari mudharabah dengan
pihak lain tersebut?
Jawabnya adalah:
Kondisi sang amil pada
akad ini tidak lepas dari dua keadaan:
a. Sang amil tidak
terlibat dalam pengelolaan modal usaha
Madzhab Malikiyah
(Maliki), Hanabilah (madzhab Hambali), dan Syafi’iyah (madzhab Syafi’i)
menyatakan: Tidak ada laba bagi sang amil. Sebab laba mudharabah hanya tercapai
dengan dua hal: modal dan amal (kerja). Keduanya tidak ada pada sang amil.
Modal milik shahibul maal, sedangkan amal (kerja) dilakukan oleh pihak lain.
Pendapat inilah yang shahih. (Al-Mughni, 6/463-464)
Posisi amil pada kondisi
ini hanya sebagai wakil shahibul maal. Dia hanya mendapatkan upah wikalah
(sebagai wakil) yang diberikan shahibul maal. Sementara laba dibagi antara
shahibul maal dengan pihak ketiga.
Faedah
Sebagian pihak mungkin
akan mengatakan: ”Fuqaha membolehkan sang amil membayar orang lain untuk
mengelola modal usaha. Boleh juga mewakilkannya kepada orang lain. Lantas apa
bedanya masalah ini dengan yang sebelumnya?”
Jawabnya adalah: Ada
perbedaan penting yang harus diperhatikan:
– yang diperbolehkan
fuqaha adalah hal tersebut masih dalam cakupan amalan mudharib (amil) di mana
sang amil tidak terpisah dengan amalan mudharabah.
– adapun yang
ditiadakan oleh fuqaha adalah ketika sang amil tidak terlibat dalam amal
mudharabah sedikitpun, sebagaimana yang diuraikan di atas. (Ar-Riba 2/1068)
Faedah
Perbedaan antara laba
dan upah ada dua:
• Laba tidak dapat
dipastikan pada setiap kondisi. Terkadang banyak, mungkin sedikit, bahkan bisa
jadi tak ada laba sedikitpun bila terjadi kerugian pada usaha mudharabah.
Sedangkan upah,
sesuatu yang pasti apapun kondisinya. Tidak terkait dengan laba/untung-rugi
sebuah usaha mudharabah.
• Laba pada usaha
mudharabah hanya dicapai dengan modal atau kerja (amal), sementara upah tidak.
(Ar-Riba, 2/1068-1069)
b. Sang amil ikut
terlibat dalam pengelolaan usaha. Kondisi ini hanya disebutkan oleh Syafi’iyah,
sementara yang lain menghukumi sama dengan kondisi sebelumnya.
Di kalangan Syafi’iyah
sendiri ada ikhtilaf dan yang rajih menurut mereka adalah tidak dapat laba dan
akad tersebut tidak diperbolehkan. Demikian tarjih An-Nawawi t dalam Ar-Raudhah
(5/132). (Lihat Ar-Riba, 2/1053-1082)
5. Melakukan akad
mudharabah dengan banyak pihak.
Masalah ini kaitannya
dengan percampuran modal usaha dari banyak shahibul amal. Gambaran masalahnya
adalah mudharib (amil) melakukan akad mudharabah dengan shahibul maal (pemodal)
lalu dia melakukan akad yang sama dengan pemodal-pemodal lain. Apa hukumnya?
Pada prinsipnya, amil
tidak boleh2 melakukan akad mudharabah lagi dengan pihak/pemodal lain. Namun
para fuqaha membolehkannya dengan ketentuan:
a) Izin khusus dari
pemodal awal dan keridhaannya.
Bila diizinkan maka
diperbolehkan dengan kesepakatan ulama (Al-Mughni 6/465). Bila tidak diizinkan,
maka syarat kedua harus terpenuhi, yaitu:
b) Tidak memadharatkan
pemodal awal
Fadhilatusy Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin t menyebutkan bahwa bentuk madharat yang menimpa pemodal awal
adalah salah satu dari dua perkara:
• Sang amil sibuk
dengan mudharabah kedua hingga melalaikan mudharabah pertama.
• Sang amil mengelola
usaha mudharabah kedua yang sejenis dengan mudharabah pertama, yang berakibat
penurunan harga.
Misal: Pada mudharabah
pertama, amil membelanjakan modal dalam bentuk pakaian. Pada mudharabah kedua
juga dibelanjakan dengan bentuk serupa. Akibatnya terlalu banyak barang serupa
menumpuk di pasaran, harga pun jadi turun. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/270)
Terkadang, bentuk
usaha yang dikelola berbeda, modal pertama dalam bentuk sembako, modal kedua
dikelola dalam bidang otomotif. Pada prinsipnya diperbolehkan. Namun terkadang,
sang amil tersibukkan dengan salah satunya, lalai dari yang lain. Inilah yang
tidak diperbolehkan (Asy-Syarhul Mumti’ 4/270).
Ringkasnya, perlu ada
izin khusus dari pemodal awal. “Bila tidak dizinkan namun tidak memadharatkan
dia, maka diperbolehkan tanpa ada khilaf”, demikian uraian Ibnu Qudamah t dalam
Al-Mughni (6/465).
Apabila dua syarat
tersebut tidak terpenuhi, apakah sang amil boleh mencampur semua modal yang
ada?
Pada prinsipnya, yang
ditekankan adalah keadilan, transparan, kejujuran, serta tidak ada unsur riba
dan gharar (pertaruhan).
Dua kemungkinan yang
bisa ditampilkan di sini:
a. Pemisahan total
harta-harta mudharabah dengan harta-harta yang lain.
Kelebihan teknik ini
adalah bahwa pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan
dapat dihitung dengan akurat. Untung-rugi juga dapat dihitung dan dialokasikan
dengan akurat.
Kelemahannya adalah
menyangkut masalah moral hazard (penyimpangan moral) dan preferensi investasi
si mudharib (amil). Akan timbul pertanyaan: “Ke portofolio (surat berharga yang
menunjukkan bukti penanaman modal, red.) mana dana tersebut diinvestasikan?”
“Dalam portofolio mana
account officer1 ditugaskan?”
“Bagaimana si mudharib
(amil) menjelaskan jika rate of return (tingkat pengembalian/hasil dari suatu
investasi, red.) dari dana pemegang saham ternyata lebih besar dibandingkan
dengan rate of return dana mudharabah?”
Saya (penulis) punya
usulan sederhana tapi tepat: “Masing-masing modal dari shahibul maal dikelola
secara tersendiri, sesuai kesepakatan masing-masing pemodal terkait dengan
persentase bagi hasil dan yang lainnya. Lalu masing-masing usaha dilakukan
pembukuan (akunting) secara tersendiri.”
Dengan cara di atas
akan tegak prinsip keadilan, transparan, tidak ada gharar dan riba, sangat
menguntungkan pihak amil sebab dia mendapatkan laba di masing-masing pemodal.
Kelemahannya terletak
pada pengelolaan usaha dan pembukuan. Amil akan memikirkan seabrek usaha,
pikirannya akan bercabang, dan dibutuhkan perhatian serta keseriusan ekstra.
Namun itu bisa diperingan dengan dua cara:
– Menunjuk wakil untuk
masing-masing usaha yang dikelola
– Menggaji para
pegawai untuk meringankan perkerjaannya.
b. Percampuran seluruh
modal2
Dengan cara ini, amil
menyatukan seluruh modal untuk sebuah usaha. Masing-masing modal dari shahibul
maal menjadi semacam saham sesuai dengan persentase besar kecilnya modal, dan
laba masing-masing dihitung sesuai dengan sahamnya.
Teknik ini cukup
sederhana, dapat menghilangkan munculnya masalah etika dan moral hazard seperti
di atas, tapi menimbulkan kesulitan dalam hal akunting.
Yang ditekankan pada
teknik ini adalah ketelitian, kejujuran, transparansi, dan laporan
pertanggungjawaban kepada para pemodal. (Lihat Bank Syari’ah hal. 139)
Faedah
Bila ketentuan di atas
tidak terpenuhi namun sang amil tetap meneruskan akadnya maka semua laba adalah
milik pemodal, sedangkan amil hanya mendapatkan upah seorang pegawai.
Kaidahnya, kata
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t: “Apabila akad mudharabah tidak sah, maka seluruh
laba adalah milik pemilik modal dan amil mendapatkan upah sebagai pegawai.”
(Asy-Syarhul Mumti’, 4/270)
6. Amil diharuskan
mengerjakan segala sesuatu yang bisa dilakukan seorang amil dan dia tidak
mendapatkan upah/laba khusus untuk itu.
Adapun pekerjaan di
luar kebiasaan maka dia bisa menggaji pegawai yang diambilkan dari modal
(termasuk biaya operasional usaha). (Al-Mughni 6/470)
7. Apabila amil
melakukan tindakan kecerobohan yang membuat hilang/rusaknya aset, maka dia
harus memberi ganti rugi.
Begitu pula bila dia
melakukan aktivitas yang tidak boleh dia lakukan atau membeli sesuatu yang
dilarang untuk dibeli, maka dia harus membayar ganti rugi.
Ini adalah pendapat
mayoritas ulama, diriwayatkan dari Abu Hurairah, Hakim bin Hizam, Abu Qilabah,
Nafi’, Iyas, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Al-Hakam, Hammad, Malik, Syafi’i, Ahmad,
Ishaq, dan ashabur ra’yi (Al-Mughni 6/468).
8. Amil tidak boleh
membeli barang dengan harga yang melebihi modal usaha.
Bila dia lakukan maka
ada dua kemungkinan:
a. Dia beli dengan
niat yang lebih menjadi tanggungannya. Maka jual belinya sah dan kelebihan
barang menjadi miliknya, tidak termasuk dalam akad mudharabah.
b. Tidak berniat untuk
menanggungnya, maka jual belinya tidak sah. (Al-Mughni 6/459)
Laba (الرِبْحُ)
Terkait dengan laba
juga ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan:
1. Laba mudharabah
sesuai dengan kesepakatan pemodal dan mudharib (amil).
Al-Imam Ibnul Mundzir
t dalam kitab Al-Ijma’ (hal. 111) menyatakan: “Para ulama sepakat, sang amil diperbolehkan
menentukan persyaratan laba, baik itu 1/3, ½, atau sesuai kesepakatan kedua
belah pihak….” (Al-Mughni 6/437)
Laba yang
dipersyaratkan sesuai kesepakatan tidak mesti 50:50 (fifty:fifty). Bisa jadi
shahibul maal lebih banyak atau lebih sedikit. Begitu pula laba mudharib.
2. Laba mudharib harus
dipastikan dengan jelas dan diketahui persentasenya (الرِبْحُ
مَعْلُومٌ)
Ini termasuk syarat
sah akad mudharabah. Bila pemodal menyerahkan modal usaha tanpa menyebutkan
persentase laba mudharib, maka akad tersebut tidak sah. Untung-rugi ditanggung
penuh pemodal dan amil hanya mendapatkan upah sebagai karyawan. Ini adalah
pendapat Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, dan
Ashhabur Ra’yi. Pendapat inilah yang rajih. (Takmilah Al-Majmu’ 15/113 dan
Al-Mughni 6/440-441)
3. Laba mudharabah
dipersyaratkan dalam bentuk persentase: 25%, 50%, 60%, atau 1/3, ¼, 2/3, dan
seterusnya.
Ibnul Mundzir t
menjelaskan: “Seluruh ahli ilmi yang kami kenal bersepakat, akad qiradh
(mudharabah) dinyatakan batal bila salah satunya atau keduanya mempersyaratkan
(laba) untuk dirinya dalam bentuk nominal uang tertentu. Di antara ulama yang
kami hafal (nama-nama)nya adalah Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan
Ashhabur Ra’yi….”
Ini juga madzhab
Al-Imam Ahmad t, disebutkan Ibnu Qudamah t dalam Al-Mughni (6/448).
Penentuan laba dalam
bentuk nominal terlarang karena alasan-alasan di bawah ini:
a. Ada unsur
pertaruhan (judi)
Sebab, bisa jadi usaha
tersebut menghasilkan laba sedikit hanya cukup untuk jatah amil. Atau bahkan
mengalami kerugian sehingga modal usaha pun terambil untuk jatah laba mudharib.
Bahkan bisa terjadi kerugian total, pemodal pun harus merogoh kocek lagi untuk
memberikan jatah laba mudharib.
Pada semua kondisi di
atas, yang dirugikan adalah pemodal. Mungkin pula yang terjadi sebaliknya,
usaha yang dikelola mendapatkan laba melimpah ruah, sang mudharib (amil) hanya
mendapatkan nominal yang dipersyaratkan.
Kondisi di atas
meniadakan sikap keadilan, dan yang diuntungkan adalah pemodal.
b. Menimbulkan
ketimpangan dalam mengelola usaha mudharabah.1
4. Laba dibagi setelah
modal kembali.
Maka sang mudharib
(amil) tidak bisa mengambil laba sebelum modal dikembalikan.Tidak ada khilaf di
kalangan ulama dalam masalah ini. Ibnu Qudamah t menguraikan dengan jelas
masalah ini dalam Al-Mughni (6/472):
“Mudharib tidak berhak
mengambil sedikit pun laba (mudharabah) hingga dia menyerahkan modal kepada
shahibul maal (pemodal). Bilamana pada modal usaha ada kerugian dan keuntungan,
maka keuntungan yang ada dipakai untuk menutup kerugian. Baik untung-rugi
tersebut pada sekali usaha, atau kerugian terjadi pada salah satu akad jual
beli sedangkan akad lain ada keuntungan. Ataupun salah satunya terjadi pada
serangkaian usaha, sedangkan yang lain terjadi pada safari usaha berikutnya.
Sebab pengertian
“laba” adalah sesuatu yang lebih dari modal usaha. Bila tidak ada kelebihan
maka tidak ada laba. Kami tidak mengetahui adanya khilaf (ulama) dalam masalah
ini….”
Faedah
Ibnu Qudamah t juga
menyatakan: “Apabila pada usaha mudharabah tampak keuntungannya, maka sang
mudharib tidak boleh mengambil sedikit pun laba tersebut tanpa seizin pemodal.
Kami tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan ulama dalam masalah ini….”
(Al-Mughni 6/484)
Bila sang mudharib
atau pemodal menuntut pembagian laba yang tampak sebelum modal kembali, maka
ada dua kemungkinan:
a. Salah satunya
menolak pembagian laba
Dalam kondisi demikian
yang didahulukan adalah ucapan pihak yang menolak, sehingga laba tidak boleh
dibagi.
b. Keduanya sama-sama
ridha
Dalam kondisi seperti
ini, pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang dinukil Ibnul Mundzir t, sang
mudharib tidak boleh mengambil laba hingga modal kembali (Al-Mughni 6/484-485).
5. Kaidah dalam
masalah mudharabah:
الْوَضِيعَةُ فِي الْمُضَارَبَةِ عَلَى الْمَالِ خَاصَّةً لَيْسَ
عَلَى الْعَامِلِ مِنْهَا شَيْءٌ
“Kerugian pada akad
mudharabah ditanggung harta (modal), sang amil tidak menanggung kerugian
sedikit pun.” (Al-Mughni 6/447)
Maksudnya, bila pada
usaha mudharabah terjadi kerugian, pada prinsipnya yang menanggung adalah
pemilik modal, bukan mudharib (amil). Kerugian sang amil adalah dia tidak
mendapatkan apapun dari usaha mudharabah.
Lebih jelasnya, usaha
mudharabah mengalami beberapa kemungkinan:
a. Mendapatkan laba
Maka laba itulah yang
dibagi sesuai persentase jatah yang disepakati setelah modal kembali.
b. Tidak untung tidak
rugi (kembali modal)
Maka pemodal mendapatkan
kembali modalnya sedangkan amil tidak mendapatkan apa-apa.
c. Terjadi kerugian
Ada dua kemungkinan
lagi untuk kondisi ini:
1) Rugi dan modal
masih sisa
Maka kerugian
ditanggung modal, shahibul maal hanya mendapatkan sisa modal yang ada.
Sementara amil tidak mendapatkan apa-apa.
2) Rugi total
Kerugian ditanggung
modal, shahibul maal kehilangan modalnya, amil tidak mendapatkan apa-apa.
Bila usaha mudharabah
mengalami kerugian, maka pemodal tidak bisa menuntut amil ganti rugi kecuali
pada satu keadaan, yaitu bila kerugian terjadi murni akibat
keteledoran/kecerobohan/tindak sewenang-wenang sang amil.2
Faedah penting
Ibnu Qudamah t
menegaskan: “Bilamana shahibul maal mempersyaratkan ganti rugi atas amil atau
ikut andil dengan saham saat kerugian, maka persyaratan tersebut batal. Kami
tidak mengetahui adanya khilaf…” (Al-Mughni 6/490. Lihat Fatawa Al-Lajnah
14/335)
Jika terjadi akad
mudharabah dengan syarat di atas maka termasuk akad pinjam
meminjam/utang-piutang yang ada unsur kemanfaatan (bunga). Inilah riba.
Kaidah yang disepakati
ulama:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap akad
pinjam-meminjam yang ada unsur manfaat (bunga) maka dia adalah riba.”
Akad di atas bukan قِرَاضٌ (mudharabah) lagi tapi قَرْضٌ (pinjaman). (Lihat Fatawa Al-Lajnah, 14/340)
الْعَاقِدَانِ
(Kedua belah pihak
yang melakukan kontrak mudharabah)
Yang dimaksud adalah
pemodal (shahibul maal) dan mudharib (amil). Ketentuannya sebagai berikut:
1. Pemodal dan amil
adalah pihak yang diizinkan transaksinya secara syar’i yaitu aqil (berakal) dan
baligh.
Mudharabah adalah
sebuah akad kerjasama dua pihak untuk menjalankan usaha. Maka dipersyaratkan
padanya apa yang dipersyaratkan pada jual beli.
Masalah ini sudah
penulis singgung dalam majalah Asy Syariah Vol. III/No. 25/1427 H/2006 hal. 16
rubrik Kajian Utama.
2. Diperbolehkan
melakukan akad mudharabah dengan orang kafir. Ini adalah pendapat Ahmad,
Al-Hasan Al-Bashri, dan Al-Auza’i rahimahumullah. Pendapat inilah yang rajih,
dikuatkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t dalam Al-Mughni (6/400).
Dalilnya adalah
keumuman firman Allah ﷻ:
“Allah tiada melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Juga tindakan
Rasulullah ﷺ yang melakukan
muamalah duniawi dengan Yahudi. Lihat Shahih Bukhari (no. 2068).
Namun dengan
ketentuan, tidak boleh melakukan transaksi atau jual beli barang haram
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Bila si kafir melakukan hal di atas,
maka dia wajib memberi ganti rugi modal yang dipakai untuk itu.
Di antara cara untuk
mengantisipasi masalah ini adalah yang mengelola usaha adalah amil muslim, atau
amil kafir dengan pengawasan ketat. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah,
14/286-288)
3. Diperbolehkan
bagi wali anak kecil atau orang gila untuk mengembangkan harta mereka pada akad
mudharabah, baik itu ayahnya, kakeknya, mushiy (yang diberi wasiat), hakim
(pemerintah), atau orang yang dipercaya hakim. (Takmilah Al-Majmu’, 15/111)
Ijab Qabul (الصِيْغَةُ)
Lafadz ijab qabul bisa
menggunakan kalimat قِرَاضٌ, مُضَارَبَةٌ,
atau مُعَامَلَةٌ.
Akad mudharabah bisa
diresmikan dengan ijab qabul menggunakan kalimat apapun, dengan bahasa apapun
yang dipahami sebagai mudharabah.
Akad dianggap sah
dengan menggunakan lafadz ijab qabul atau cara lain yang dipahami sebagai
mudharabah. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
1. Akad mudharabah
dianggap batal dengan kematian salah satunya atau kegilaan yang menimpa salah
satunya, baik itu sesudah berjalannya usaha atau sebelumnya. Namun bila ahli
waris mereka hendak melanjutkan akad tersebut, maka diperbolehkan (Al-Mughni
6/488, 485).
2. Akad mudharabah
dianggap batal bila modal usaha hilang/hancur sebelum usaha dijalankan. Bila
ingin melanjutkan akad, maka harus didatangkan modal baru (Al-Mughni, 6/490).
Demikian sedikit
ulasan tentang hukum-hukum dan ketentuan mudharabah dalam Islam. Sesungguhnya
masih banyak lagi masalah yang perlu diangkat namun dicukupkan uraian di atas
karena keterbatasan lembar majalah. Wallahu a’lam.
1 Dzimmi adalah orang kafir yang hidup bersama
kaum muslimin di wilayah Islam.
2 Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin t menegaskan bahwa
hukumnya adalah haram. (Asy-Syarhul Mumti’ 4/272)
1 Account Officer (AO) adalah pejabat bank
yang bertugas sejak mencari nasabah yang layak sesuai kriteria peraturan bank,
menilai, mengevaluasi, mengusulkan besarnya kredit yang diberikan. Pada
praktiknya, ia menjadi konsultan investasi.
2 Teknis inilah yang dipakai di bank-bank
syariah di Indonesia.
1 Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah 14/319,
Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz 19/324.
Faedah:
Adapun nominal yang dipastikan dari laba,
tidaklah diperbolehkan sebab termasuk riba. Karena termasuk qiradh (pinjaman)
yang dipersyaratkan adanya sebuah kemanfaatan. (Fatawa Al-Lajnah 14/288)
Begitu pula tidak boleh disepakati adanya laba
tertentu sekian persen tiap bulannya, sebab mudharabah mengandung kemungkinan
untung dan rugi. (Al-Lajnah Ad-Da’imah, 14/360)
2 Lihat Fatawa Al-Lajnah (14/308 dan 334)
Karakteristik Bank Syariah
(ditulis
oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Prinsip bagi hasil
(profit sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi
operasional bank syariah secara keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya
berdasarkan kaidah mudharabah. Berdasarkan prinsip ini pihak bank akan
berfungsi sebagai:
1. Mudharib
(pengelola)
Bank bertindak sebagai
mitra, dengan penabung sebagai shahibul maal (pemodal). Antara keduanya
diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing
pihak.
2. Shahibul maal
(pemodal/investor)
Bagi
pengusaha/peminjam dana, bank berfungsi sebagai pemodal, baik yang berasal dari
tabungan/deposito/giro maupun dana bank sendiri berupa modal pemegang saham.
Sementara sang pengusaha/peminjam berfungsi sebagai mudharib (pengelola) karena
melakukan usaha dengan cara memutar atau mengelola dana bank.
Pada lembaran majalah
yang terbatas ini, penulis akan mengupas masalah terpenting yang ada di
bank-bank syariah mengingat terlalu banyak praktik transaksi dan sistem yang
ada pada tubuh bank. Setidaknya ada pencerahan wawasan tentang bank syariah,
apakah syar’i sesuai komitmen mereka, ataukah hanya “numpang nama” padahal
hakikatnya sama dengan bank konvensional atau bahkan lebih ‘kejam’?
Ada satu hal yang akan
dibahas yaitu masalah mudharabah. Berikut ini rincian hukum syar’inya dan
penerapan bank syariah di lapangan.
Mudharabah
Dalam perspektif ilmu
fiqh Islami, mudharabah merupakan salah satu bagian dari pembahasan masalah
yang lebih luas yaitu syirkah. Syirkah sendiri bermakna berserikat (kongsi)
dalam sebuah hak atau aktivitas (Al-Mughni, 6/399).
Syirkah secara global
diperbolehkan secara syar’i dengan dasar Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Walaupun ada beberapa permasalahan yang masih ada khilaf di kalangan fuqaha.
Secara syar’i, syirkah terbagi menjadi dua:
1. Syirkah milkiyah
(kepemilikan)1 (شِرْكَةُ الْأَمْلَاكِ)
Syirkah ini tercipta
karena warisan, wasiat, atau kondisi tertentu yang mengharuskan adanya
kepemilikan suatu aset oleh dua orang atau lebih seperti kongsi pada sebuah
pabrik, kendaraan, dan lain-lain.
Dalam syirkah ini,
kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata atau
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut, diatur dalam syariat pada hukum
waris, wasiat, dan syirkah.
2. Syirkah ‘uqud
(akad) (شِرْكَةُ الْعُقُودِ)
Syirkah inilah yang
diulas para fuqaha dalam Kitab Syirkah di kitab-kitab mereka.
Syirkah ini ada lima
macam:
a. Syirkah Abdan (شِرْكَةُ الْأَبْدَانِ)
Maknanya adalah
kontrak kerjasama dua orang atau lebih seprofesi untuk menerima pekerjaan
secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan tersebut.
Misal: Kerjasama dua
orang tukang untuk menggarap proyek pembangunan sebuah rumah, dua orang arsitek
kerjasama menggarap sebuah proyek, atau dua orang penjahit kerjasama menerima
order pembuatan baju, atau yang semisal itu. Keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan bersama.
Syirkah ini juga
disebut dengan شِرْكَةُ الْأَعْمَالِ
atau شِرْكَةُ الصِّنَاعِي
b. Syirkah ‘Anan (شِرْكَةُ الْعَنَانِ)
Yaitu kontrak
kerjasama antara dua orang atau lebih, masing-masing pihak berpartisipasi dalam
dana dan kerja. Masing-masing berbagi keuntungan dan kerugian sesuai kesepakatan
bersama dengan memerhatikan persentase porsi dana masing-masing.
c. Syirkah Wujuh (شِرْكَةُ الْوُجُوهِ)
Maksudnya adalah
kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama
baik hingga dipercaya oleh perusahaan/pedagang.
Mereka membeli produk
dari perusahaan /pedagang tanpa modal dengan tempo tertentu lalu menjualnya.
Keuntungan dan kerugian ditanggung mereka bersama sesuai kesepakatan. Syirkah
ini juga dikenal dengan istilah syirkah piutang.
d. Syirkah Mufawadhah
(شِرْكَةُ الْمُفَاوَضَةِ)
Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi t dalam kitab Al-Mughni (6/436) membagi syirkah ini menjadi dua
macam:
• Melakukan kontrak
kerjasama pada semua jenis syirkah yang ada. Misal: Kombinasi antara syirkah
‘anan, wujuh, dan abdan dalam sebuah kontrak kerjasama.
• Kontrak kerjasama
antara dua orang atau lebih dengan ketentuan adanya kesamaan pada dana yang
diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang, dan lain sebagainya. Bahkan
memasukkan aset masing-masing pihak ke dalam akad syirkah, seperti harta waris,
luqathah (harta temuan), rikaz (harta karun), dan semisalnya.
e. Syirkah Mudharabah2
(شِرْكَةُ الْمُضَارَبَةِ)
Jenis inilah yang
menjadi pembahasan kita. Secara bahasa مُضَارَبَةٌ
diambil dari kata ضَرَبَ فِي الْأَرْضِ
yang artinya berjalan di muka bumi untuk menjalankan usaha. Allahfberfirman:
“Dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Al-Muzzammil: 20)
Mudharabah adalah
istilah yang digunakan oleh orang Irak, sementara orang Hijaz menamainya qiradh
(قِرَاضٌ).
Secara syar’i,
mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, shahibul maal (pemilik
harta/pemodal) menyediakan seluruh modal dan pihak kedua sebagai pengelola
(mudharib). Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Demikian
juga dengan kerugian, ditanggung pula oleh kedua pihak di mana shahibul maal
berkurang modalnya sedangkan pengelola tidak mendapatkan apapun dari usaha
tersebut.
Dalam Al-Mughni
(6/431), Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t menyatakan: “Para ulama telah ijma’
(sepakat) tentang kebolehan mudharabah secara global. Demikian disebutkan oleh
Ibnul Mundzir t.”
Umat manusia juga
membutuhkan mudharabah karena harta benda tidak mungkin berkembang kecuali
dengan adanya usaha. Sementara itu, tidak setiap orang yang mempunyai harta
(modal) juga punya skill (keahlian) dan reputasi yang baik dalam berusaha.
Begitu pula, tidak setiap orang yang punya keahlian berusaha selalu punya modal
usaha. Maka Allahfmenghalalkan
mudharabah untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Wallahu a’lam.
1 Definisinya adalah
kongsi pada kepemilikan sebuah aset (اجْتِمَاعٌ فِي
اسْتِحْقَاقٍ) (Asy-Syarhul Mumti’, 4/250)
2 Sebagian ulama tidak
memasukkan mudharabah dalam bagian syirkah namun membahasnya secara tersendiri.
Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum
dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi
mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat
diklasifikasikan menjadi dua:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank
2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam
Berikut ini uraian sekaligus tinjauan syar’i terhadap aplikasi
tersebut:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank.
Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah:
a. tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk
tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan
sebagainya.
Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki
ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan,
penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda
tangan, dan lain sebagainya.
Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan
anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo
pencairan dana.
Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi
hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa
langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.
b. Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di
semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal
(pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada
kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana)
dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan
12 bulan.
Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya
dana akan cair saat jatuh tempo.
Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan
deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer
Service (CS)nya.
c. Deposito khusus (special investment)
Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis
tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.
Tinjauan hukum syar’i
Secara hukum syar’i, akad yang tertuang dalam formulir yang
disediakan pihak bank cukup transparan dan lahiriahnya tidak ada masalah.
Adapun perbedaan sistem deposito/tabungan antara bank syariah
dan bank konvensional adalah:
a) Pada akad
Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syari’ah.
Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun.
b) Pada imbalan yang diberikan:
Bank syariah menerapkan prinsip mudharabah, sehingga bagi hasil
tergantung pada:
• Pendapatan bank (hasil/laba usaha)
• Nominal deposito nasabah
• Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank
• Jangka waktu deposito
Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk
menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah
penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba
pada bank konvensional.
c) Pada sasaran pembiayaan
Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank
konvensional terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti pada akad
mudharabah antara penabung dan bank syariah, di antaranya adalah:
a. Bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank
ditutup/bangkrut
Di sini muncul pertanyaan besar: Siapa yang menanggung kerugian
dana simpanan para nasabah?
Jawabannya adalah sebagai berikut:
Semua bank, baik konvensional maupun syariah1 harus terikat dan
dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah
kepada lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya. Bila terjadi
kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua dana simpanan
dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah
No. 66 Th. 2008, red.).
Hakikat akad dengan kondisi di atas
Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin
dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad mudharabah tetapi akad
pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan
pinjaman, apapun yang terjadi.
Kesimpulannya, akad antara penabung dan bank syariah adalah
riba/terlarang dengan alasan:
1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini
adalah bagi hasil yang dicapai.
Hakikatnya adalah penabung memberi pinjaman kepada pihak bank
dengan syarat bunga dari persentase bagi hasil. Inilah hakikat dari riba
jahiliah yang dikecam dalam Islam. Lihat makalah penulis di Kajian Utama
Macam-macam Riba pada majalah Asy Syariah No. 28/III1428 H/2007 hal. 18.
2) Kerugian ditanggung mudharib (bank)
Ini menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i seperti telah
diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada usaha mudharabah murni
ditanggung modal bukan amil/mudharib.
3) Pihak bank terjatuh pada asuransi bisnis yang diharamkan
dalam Islam. Lihat makalah penulis tentang asuransi di Kajian Utama majalah Asy
Syariah Vol. III/29/1428 H/2007 yang berjudul Asuransi hal. 20-24.
b. Pembiayaan yang dilakukan pihak bank kepada nasabah peminjam
Di sini muncul pertanyaan:
– Apakah pembiayaan tersebut pada akad-akad yang syar’i?
– Fungsi bank dengan pihak peminjam sebagai apa? Shahibul maal
ataukah wakil nasabah penabung?
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas diulas pada poin
kedua, yaitu:
2. Akad mudharabah antara bank dan nasabah peminjam
Pada umumnya banyak bank syariah yang tidak mengalokasikan dana
pembiayaan ke produk mudharabah dikarenakan risiko yang cukup tinggi, di
antaranya:
a. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu tidak seperti
yang disebut dalam akad
b. Lalai dan kesalahan nasabah yang disengaja
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila dia tidak jujur.
Bank syariah lebih banyak mengalokasikan pembiayaan2 ke produk
murabahah.
Pihak bank akan mengadakan akad dengan skema mudharabah dengan
masalah melalui proses yang cukup ketat, di antaranya:
a. Melihat reputasi nasabah dalam dunia usaha
b. Melakukan pembiayaan pada usaha-usaha yang dapat diprediksi
pendapatannya seperti:
– mudharabah dengan koperasi yang melakukan akad murabahah untuk
memenuhi kebutuhan karyawannya.
– mudharabah dengan pihak yang bergerak di bidang rental
officer.
c. Untuk usaha-usaha yang kurang bisa diprediksi pendapatannya,
seringkalinya dialihkan ke akad murabahah. Pada akad mudharabah ini pihak bank
bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan nasabah sebagai mudharib (amil)
Saat akad, nasabah dan bank melakukan kesepakatan tentang :
• Biaya yang dikeluarkan
• Nisbah (persentase) bagi hasil
Nisbah ini bisa berubah-ubah, misal: 3 bulan pertama 60:40, tiga
bulan kedua 50:50.
• Tenggang waktu mudharabah
– pihak nasabah memberikan dokumen tentang reputasi dia,
pendapatan usahanya, dan lain-lain yang dibutuhkan pihak bank
– setiap tiga bulan, pihak nasabah membayar kepada bank
keuntungan usaha dengan membuat laporan realisasi pendapatan (LRD)
– Pada umumnya pihak bank tidak terlibat dalam usaha nasabah,
pihak bank hanya terlibat dalam pembiayaan
– Akad mudharabah ini disertai adanya jaminan dari pihak
nasabah.
Tinjauan hukum syar’i
Secara umum akad mudharabah yang terpapar di atas tidak ada
masalah sebab akadnya adalah mudharabah dan keuntungan diambil dari laba usaha
menggunakan nisbah (persentase). Sedangkan pada bank konvensional menggunakan
akad qiradh (pinjaman) dengan syarat bunga yang ditetapkan. Ini jelas riba
jahiliah yang dikecam dalam Islam.
Namun, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab:
a. Dari mana bank memperoleh modal pembiayaan sehingga disebut
sebagai shahibul maal.
Jawabnya adalah sumber dana bank berasal dari:
– modal pemegang saham
– titipan (tabungan) dengan sistem wadi’ah yad dhamanah3
– investasi (tabungan) dari nasabah dengan sistem mudharabah.
Intinya, bank menghimpun dana dari nasabah-nasabah penabung
selaku shahibul maal yang sesungguhnya. Jadi pada hakikatnya, pihak bank tidak memiliki
modal hingga layak disebut pemilik modal (shahibul maal).
Kesimpulannya, bank hanyalah sebagai perantara/wakil para
nasabah penabung untuk melakukan akad mudharabah dan yang lainnya dengan
nasabah peminjam. Inilah yang disebut dengan istilah mudharabatul mudharib (مُضَارَبَةُ الْـمُضَارِبِ).
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, sistem ini
diperbolehkan jika ada izin khusus dari nasabah penabung (shahibul maal) dan
mudharib (bank) tidak mendapatkan laba mudharabah tapi hanya dapat ujratul wakalah
(upah sebagai wakil) baik terlibat langsung dalam usaha atau tidak.
Alhasil, akad mudharabah ini terlarang dengan alasan berikut:
1. Tidak ada izin khusus dari para nasabah penabung pada
umumnya.
2. Kenyataan yang terjadi, pihak bank mengambil keuntungan bukan
upah wakalah. Walau pada praktiknya bank menggabungkan dana modal dalam satu
pool dan hasil usaha digabung dari beragam akad dengan nasabah, baik itu
murabahah, mudharabah, musyarakah, maupun ijarah.
b. Bila terjadi kerugian pada usaha nasabah di luar prediksi
semua pihak, apakah modal/pembiayaan dari pihak bank harus dikembalikan?
Jawabannya adalah:
Secara prinsip mudharabah yang syar’i, kerugian yang terjadi
selama bukan karena kelalaian dan kecerobohan amil murni ditanggung modal,
dalam hal ini adalah bank. Amil tidak dibebani apapun kecuali dia rugi tidak
dapat laba dari usaha tersebut.
Praktik yang terjadi di dunia bank syariah cukup beragam. Perlu
diketahui, bahwa semua bank mempersyaratkan pada akad mudharabah, semua aset
nasabah yang digunakan untuk usaha harus diasuransikan terlebih dahulu. Ini
sebagai upaya pengamanan bilamana terjadi sesuatu di luar prediksi semua pihak.
1. Sebagian bank syariah langsung melakukan penyitaan aset
nasabah yang mengalami kebangkrutan atau menuntut pengembalian modal
mudharabah.
Tindakan ini sangat jelas menunjukkan bahwa kerugian ditanggung
amil. Ini jelas menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i. Sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya, hakikat akad sesungguhnya bukan qiradh (mudharabah)
tapi qardh (pinjaman) yang harus ada pengembalian pinjaman apapun yang terjadi
pada pihak peminjam.
Kesimpulannya, akad mudharabah di atas termasuk dalam kaidah:
“Setiap pinjaman yang ada unsur kemanfaatan adalah riba.”
Riba jahiliah yang sangat dikecam dalam Islam, kemanfaatan yang
diperoleh pihak bank adalah laba usaha nasabah dengan nisbah bagi hasil.
Wallahul musta’an.
2. Sebagian bank syariah tidak berani melakukan penyitaan secara
langsung karena paham tentang konsekuensi akad mudharabah yaitu kerugian
ditanggung bank. Mereka pun melakukan upaya lain yaitu kompromi (islah) dengan
pihak nasabah. Misal: Meminta nasabah menjual aset yang ada.
Ujung-ujungnya sama dan itulah letak permasalahannya yaitu modal
mudharabah kembali, kerugian ditanggung amil (nasabah).
Hukumnya pun sama dengan yang sebelumnya hanya beda teknis saja,
yang satu main kasar, yang lain main halus. Kaidah para ulama:
الْعِبْرَةُ
بِالْحَقَائِقِ لَا بِالْأَلْفَاظِ
“Yang dianggap adalah hakikatnya bukan bahasa (istilah)nya.”
Faedah
Bila usaha nasabah berikut asetnya terkena musibah
(peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan/extraordinary, red.), seperti kebakaran
yang menghanguskan, maka yang dilakukan oleh pihak bank adalah mengurus klaim
dari perusahaan asuransi. Apabila klaim cair maka langsung masuk ke pihak bank
untuk mengembalikan modal mudharabah, bila ada lebihnya baru masuk ke nasabah.
Upaya ini pun juga menunjukkan hasil yang sama yaitu modal harus
kembali, kerugian ditanggung nasabah. Hukumnya juga sama dengan yang
sebelumnya.
Catatan
Pihak bank biasanya memiliki alasan kenapa harus melakukan
upaya-upaya di atas. Alasan mereka adalah: Pada saat pihak bank mengeluarkan
pembiayaan untuk modal mudharabah dengan nasabah, pihak bank diharuskan untuk
mempersiapkan “dana talangan”. Besar kecilnya dana tersebut tergantung
kelancaran usaha nasabah.
– bila lancar maka dana talangannya 1 % dari pembiayaan
– bila tidak lancar maka dana talangan semakin diperbesar
menjadi 5 %, 15 %, dan seterusnya.
– bila sampai sembilan bulan nasabah tidak membayarkan bagi
hasil usaha maka dana talangannya menjadi 100 %.
Ini adalah ketentuan resmi dari Bank Indonesia (BI) untuk semua
bank. Tujuannya supaya usaha nasabah yang tidak lancar tersebut bisa dihapuskan
dan untuk kelancaran bank itu sendiri.
Jawabannya adalah:
1. Ketentuan di atas murni antara pihak bank dengan bank sentral
(BI), tidak ada sangkut pautnya dengan nasabah.
2. Ketentuan akad mudharabah murni antara pihak nasabah dengan
bank, tidak ada sangkut pautnya dengan BI.
3. Tindakan pihak bank membebankan dana talangan pada nasabah
pada skema akad mudharabah, di luar dan menyalahi prinsip mudharabah yang
syar’i.
4. Penjualan aset nasabah atau pengambilan klaim dari
perusahaan asuransi sebagai ganti dana talangan yang disediakan termasuk
memakan harta orang lain dengan cara batil. Allahf berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (An-Nisa’: 29)
Kesimpulan
Setelah uraian panjang di atas dapat disimpulkan bahwa AKAD
MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH ADALAH RIBA DAN BERTENTANGAN DENGAN MUDHARABAH
YANG SYAR’I.
Tidak ada bedanya bank syariah dengan bank konvensional, bahkan
bank syariah bisa dikatakan lebih kejam dengan alasan:
1. Mengatasnamakan dirinya dengan syariah
2. Bunga yang didapatkan dari nasabah jauh lebih besar daripada
yang didapat bank konvensional.
3. Bunga yang dia berikan kepada nasabah juga lebih besar daripada
yang diberikan bank konvensional.
Untuk itu, diimbau kepada semua pihak terkait baik pemerintah
(Depag/MUI), para bankir, dan lain-lain supaya lebih dalam mempelajari kembali
semua sistem yang ada di perbankan syariah dengan bimbingan Islam yang benar:
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para ulama, agar
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada akad-akad bank syariah dapat
ditiadakan dan dicarikan solusi syar’i terbaik sebagai gantinya.
Wallahul muwaffiq lish-shawab.
Maraji’
1. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Cet. I Darul Hadits
Kairo-Mesir tahun 1416 H/1996 M.
2. Takmilah Al-Majmu’ Al-Muthi’I, cet. I Daar Ihyaut Turats
Al-’Arabi, Beirut-Lebanon tahun 1422 H/2001 M.
3. Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, cet. Daarul
Atsar Kairo-Mesir, tanpa tahun.
4. Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrafiyah Al-Mu’ashirah, Dr.
Abdullah bin Muhammad As-Sa’idi, Cet. I Daar Thayyibah KSA tahun 1420 H/1999 M.
5. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik, Muhammad Syafi’i Antonio
Cet. 9, Gema Insani bekerjasama dengan Tazkia Cendekia, Rabi’ul Awwal 1426
H/April 2005 M.
6. Diskusi langsung dengan sejumlah karyawan aktif dari sejumlah
bank syariah.
7. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, cet. IV, Ulin Nuha lil Intaj
Al-I’lami, 1424 H/ 2003 M
8. Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz cet. II Dar Ishda’ Al-Mujtama’,
tahun 1428 H
Nasihat untuk para Pegawai Bank
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Setelah uraian panjang tentang masalah mudharabah dan aplikasinya
dalam dunia perbankan syariah, serta sampai pada kesimpulan bahwa sistem
mudharabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah adalah riba, maka saya
aturkan tulisan berikut kepada para pegawai dan karyawan bank, sebagai nasihat
dan peringatan. Semoga diberi kemanfaatan oleh Allahfdi
dunia dan di akhirat.
Hukum Bekerja di Bank (Syariah)
Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz t: “… Tidak
diperbolehkan bekerja di bank seperti itu (yang melakukan transaksi riba,
pen.). Sebab bekerja di sana termasuk ta’awun (tolong-menolong) di atas dosa
dan permusuhan. Allahfberfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
(Al-Ma’idah: 2)
Disebutkan dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah c dari Nabi ﷺ bahwa beliau
melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan orang lain dengan harta riba,
penulis, dan kedua saksinya. Beliau menyatakan:
“(Dosa) mereka sama.”
Adapun gaji yang telah anda terima, maka halal bagi anda bila
sebelumnya anda jahil (tidak tahu) tentang hukum syar’inya, dengan dasar firman
Allahf:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
(Al-Baqarah: 275-276)
Sementara bila anda tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak
diperbolehkan, maka seyogianya gaji yang anda terima disalurkan kepada
proyek-proyek kebajikan dan menyantuni para fuqara disertai dengan taubat
kepada Allah ﷻ. Barangsiapa
bertaubat kepada Allah ﷻ dengan
taubat nashuha, maka Allah l akan menerima taubatnya dan mengampuni
kesalahannya. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)
Allah ﷻ juga
berfirman:
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai kaum mukminin, agar kalian
beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Kitab Ad-Da’wah,
2/195-196, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ hal. 128-130]
Fatwa serupa juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t
sebagaimana dalam Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin (2/703). Lihat
Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 128).
Juga Al-Lajnah Ad-Da’imah (13/344-345) yang diketuai oleh
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq
‘Afifi, anggota: Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdullah bin
Mani’.
Juga penjelasan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam
kitabnya Qam’ul Mu’anid (2/278).
Fatwa mereka berlaku umum bagi siapa saja yang bekerja di
bank-bank ribawi, walaupun hanya sebagai sopir atau sekuriti (petugas
keamanan). Juga berlaku pada semua lembaga ribawi selain bank. Ini adalah fatwa
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 133).
Bahkan hukumnya pun berlaku bagi pihak yang tidak punya pilihan
pekerjaan kecuali di bank ribawi, atau pihak yang kondisi ekonominya pailit dan
hanya ada lowongan pekerjaan di bank ribawi, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu
Baz t. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 132-133).
Ancaman keras bagi pihak yang terlibat praktik riba
1. Allah ﷻ berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.”
(Al-Baqarah: 275)
2. Allah ﷻ juga
menegaskan:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
3. Pihak yang terlibat dalam praktik ribawi didoakan laknat oleh
Rasulullah ﷺ sebagaimana hadits
Jabir رضي الله عنه yang
lalu.
4. Memakan harta riba termasuk dosa yang menghancurkan
pelakunya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah z:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ
الَمُوبِقَاتِ -فَذَكَرَ مِنْهَا:- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan… (beliau menyebutkan di
antaranya): memakan harta riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
Masih banyak lagi dalil tentang keharaman dan ancaman terhadap
muamalah riba.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan: “Tidak ada dalam
Kitabullah sebuah ancaman atas tindakan dosa selain syirik yang lebih keras
daripada ancaman terhadap riba.” (Syarah Buyu’ hal.125)
Harta riba tidak barakah dan berujung pada kehancuran
Allah ﷻ menegaskan
dalam firman-Nya:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah:
276)
Pemusnahan harta riba itu meliputi dua hal:
q Pemusnahan di dunia secara hakiki dengan kehancuran harta
tersebut atau diambil barakahnya. Hal ini sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud z,
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ
مِنَ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidaklah ada seseorang yang memperbanyak riba melainkan akibat
akhir urusannya adalah kekurangan.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/16)
q Pemusnahan di akhirat nanti secara maknawi. Dia akan berjumpa
dengan Allah ﷻ dalam
keadaan sebagai orang muflis (bangkrut). (Syarah Buyu’ hal. 126)
Takwa kepada Allah ﷻ dan tawakkal kepada-Nya adalah kunci datangnya rezeki
yang halal
Allah ﷻ berfirman:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Lafadz ﮟ dalam ayat ini
disebutkan dalam bentuk nakirah (umum) dalam konteks persyaratan. Secara kaidah
ushul fiqih mengandung arti umum, sehingga mencakup jalan keluar dari semua
kasus dan problem. Ini juga memberi isyarat makna akan adanya jalan keluar
terbaik dalam waktu cepat.
Bila Allah ﷻ yang
Maha Kuasa lagi Maha Kaya, yang memberi jalan keluar sekaligus menjamin
kebutuhan hamba yang takwa dan bertawakkal, lalu apa yang dikhawatirkan? Apa
yang dia risaukan? Ketenangan dan ketentraman hatilah yang semestinya dirasakan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ
تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ
الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, niscaya Allah akan anugerahkan rezeki kepada kalian
sebagaimana melimpahkan rezeki kepada burung, di pagi hari dalam keadaan lapar,
(pulang) sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dari ‘Umar bin
Al-Khaththab z, dan dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad
2/110-111)
Anjuran mencari usaha yang halal dan keutamaan qana’ah
Allah ﷻ berfirman:
“Maka apabila shalat itu telah usai, maka menyebarlah kalian di
atas muka bumi dan carilah keutamaan dari Allah.” (Al-Jumu’ah: 10)
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ
طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ
اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih
baik daripada apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh
Nabiyullah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dari
Miqdam bin Ma’dikarib z)
Sungguh benar. Berusaha mencari rezeki yang halal dari hasil
usaha sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi dengan ketakwaan dan
tawakkal kepada Allah ﷻ, setelah itu banyak
bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) atas anugerah rezeki dari Allah ﷻ. Alangkah tentramnya hati seorang hamba
yang memiliki sifat qana’ah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ
كَثْرِةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya materi (dunia). Namun
kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (yang ada) dalam hati.” (Muttafaqun ‘alaih
dari Abu Hurairah z)
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c, Rasulullah ﷺ bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهُ كِفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا أَتَاهُ
“Sungguh bahagia seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan
Allah jadikan dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.”
(HR. Muslim)
Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang
yang merasa paling kaya di dunia. Sabda Rasulullah n:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ
آمِنًا فـِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا
حُيِّزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
“Siapa saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan
aman (tentram) jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada
hari itu, maka seolah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.” (HR.
At-Tirmidzi dan beliau hasankan dari shahabat Abdullah bin Mihshan Al-Anshari
z)
Akhirul kalam, mari kita renungkan bersama sabda Rasulullah ﷺ berikut:
مَنْ كَانَتِ
الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ
عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ
كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي
قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-cita/harapannya,
maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran selalu di
pelupuk kedua matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang
telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa akhirat sebagai niatnya, maka Allah
akan kumpulkan urusannya, Allah jadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan
datang kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid
bin Tsabit رضي الله عنه dan
dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/263)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Hukum Menabung di Bank Ribawi
Seseorang memiliki sejumlah uang dan menyimpannya di bank demi
keamanan hartanya dan agar bisa menunaikan zakatnya bila telah berlalu satu
haul. Bolehkah hal yang seperti ini? Berikanlah penjelasan kepada kami.
Jazakumullah khairan.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:
Tidak boleh menyimpan di bank-bank ribawi meskipun tidak
mengambil bunganya. Karena hal ini mengandung sikap tolong-menolong dalam dosa
dan permusuhan. Allah ﷻ sungguh
telah melarang hal tersebut. Namun, bila seseorang terpaksa melakukannya dan
tidak mendapatkan tempat untuk menjaga hartanya kecuali di bank-bank ribawi,
maka tidak mengapa insya Allah, karena darurat. Allah ﷻ berfirman:
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”
(Al-An’am: 119)
Bila dia mendapatkan suatu bank Islami atau tempat aman yang
tidak mengandung unsur tolong-menolong dalam dosa dan ketakwaan, di mana dia
bisa menyimpan hartanya di sana, tidak diperbolehkan baginya menyimpan hartanya
di bank ribawi. (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 19/414, pertanyaan no. 253)
TRANSFER UANG MENGGUNAKAN JASA BANK
Apakah dibolehkan menabung di bank yang bermuamalah dengan riba
bila seorang muslim mengkhawatirkan dirinya? Dan apakah hukum bermuamalah
dengan bank tersebut pada perkara yang tidak mengandung riba, semacam transfer
uang ke luar atau dalam negeri, yang di dalamnya terkandung maslahat untuk kami
(muslimin) terbatas pada bank tersebut?
Jawab:
Pertama, menabung uang di bank-bank tersebut yang bermuamalah
dengan riba tidaklah dibolehkan walaupun tidak mengambil bunganya. Karena di
dalamnya terdapat unsur saling membantu dalam hal dosa dan permusuhan,
sementara Allah ﷻ telah
berfirman:
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.” (Al-Maidah: 2)
Kecuali bila seorang muslim khawatir hartanya hilang (kecurian
atau semacamnya, ed.) dan tidak mendapatkan cara lain untuk menjaganya kecuali
di bank riba, maka diperbolehkan baginya untuk melakukannya, tanpa adanya bunga
atas tabungan itu. Hal ini dalam rangka mengambil mudharat yang lebih kecil dan
menangkal mudharat yang lebih besar.
Kedua, bermuamalah dengan bank yang memakai riba dalam hal yang
mubah semacam mengirim/mentransfer uang adalah boleh ketika dibutuhkan untuk
itu. Adapun berhubungan dengan bank dalam hal yang haram, tidaklah
diperbolehkan.
Allah llah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam
tercurah kepada Nabi kita Muhammad.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakil: Abdurrazzaq
‘Afifi, anggota: Abdullah bin Qu’ud (Fatawa Al-Lajnah, 13/351-352, fatwa no.
4997)
BAGAIMANA MEMANFAATKAN BUNGA BANK
Seseorang memiliki bunga (bank) dalam jumlah yang besar –semoga Allah
ﷻ menyucikan kita
dan melindungi muslimin darinya–. Apakah boleh dia menyalurkannya untuk
kegiatan-kegiatan yang baik, seperti membangun perguruan tinggi syariah atau
madrasah tahfidzul Qur’an secara khusus, dan kegiatan-kegiatan baik lainnya
secara umum? Dan apakah membangun masjid dengannya haram atau makruh, atau
hanya kurang baik? Berikan fatwa kepada kami, semoga Allah ﷻ menambahkan ilmu kepada Anda
sekalian.
Jawab:
Bunga riba termasuk harta yang haram. Allah ﷻ berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(Al-Baqarah: 275)
Seseorang yang memiliki sesuatu dari harta tersebut hendaknya
berusaha membersihkan diri darinya, dengan menginfakkannya pada hal yang
bermanfaat bagi muslimin. Di antaranya membangun jalan, membangun sekolah, dan
memberikannya kepada orang-orang fakir. Adapun masjid, tidak boleh dibangun
dari harta riba. Tidak halal pula bagi seseorang untuk senantiasa mengambil
atau memanfaatkan bunga.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa
alihi wa shahbihi wasallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz
Alu Asy-Syaikh, Bakr Abu Zaid
(Fatawa Al-Lajnah, 13/354, fatwa no. 16576)
Apakah boleh seseorang meminta bunga dari uang seseorang yang
telah meninggal –yang dahulu ditabungkan– ketika uang itu hendak diambil? Kalau
tidak boleh, apakah bunga bank tersebut dibiarkan diambil oleh bank tersebut,
baik untuk kepentingan bank atau selainnya?
Jawab:
Bila seorang muslim wafat dan meninggalkan harta di sebagian
bank ribawi di mana ada bunganya, ahli waris atau para walinya yang lain tidak
boleh mengambil bunga tersebut untuk kepentingan mereka, karena Allah ﷻ mengharamkan riba.
Rasulullah ﷺ juga melaknat
orang-orang yang memakannya, menulisnya, dan menjadi saksinya.
Namun jangan biarkan bunga itu ada di bank tersebut, bahkan
ambil dan salurkanlah secepatnya pada kegiatan-kegiatan kebaikan. Seperti
menyantuni orang fakir, melunasi utang orang yang kesulitan membayarnya, dan
sejenisnya. Bagi orang yang berwenang terhadap pokok harta tersebut, hendaknya
mengambilnya dari bank. Karena keberadaannya di bank adalah salah satu bentuk
saling membantu dalam dosa dan permusuhan. Kecuali bila terpaksa untuk tetap
menyimpannya di sana, maka tidak mengapa namun tanpa bunga, seperti jawaban
pertanyaan pertama yang telah lalu.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad, wa
alihi wshahbihi wasallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakil: Abdurrazzaq
Afifi, anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud
Dalam permasalahan seseorang yang menyimpan uang di bank dan ia
mengetahui haramnya riba, apakah ia harus mengambil uangnya saja atau beserta
ribanya, terdapat perbedaan pendapat. Asy-Syaikh Al-Albani t menyatakan dalam
kaset Silsilatul Huda wa Nur (no. 231), bahwa ada yang berpendapat riba
tersebut tidak diambil secara mutlak, adapula yang berpendapat boleh diambil
dan diberikan kepada fuqara. Ada lagi yang berpendapat riba tersebut boleh
diambil tapi jangan dimanfaatkan olehnya secara pribadi. Namun riba tersebut
hendaknya diberikan untuk pembuatan fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh
masyarakat secara bersama seperti jalan atau saluran air, dan yang sejenisnya.
Allah Musnahkan Riba dan Suburkan Sedekah
(ditulis
oleh: Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal, Lc)
Al-Imam Muslim t
berkata dalam Ash-Shahih:
حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرٍ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ -وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ-
قَالَا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
أَبِي سَلَمَةَ عَنْ وَهْبٍ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ
اللَّيْثِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ zعَنِ النَّبِيِّ n قَالَ: بَيْنَ
رَجُلٌ بَفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا مِنْ سَحَابَةٍ: اسْقِ حَدِيْقَةَ
فُلَانٍ! فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ فَإِذَا
شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشرَاجِ قَدِ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءُ كُلُّهُ
فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيْقَتِهِ يَحُولُ الْمَاءَ
بِمسْحَاتِهِ فَقَال لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ مَا اسْمُكَ؟ قَالَ: فُلَانٌ؛
لِلْاِسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، لِمَ
تَسْأَلُنِي عَنِ اسْمِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحَابِ
الَّذِي هَذَا مَاؤُهُ يَقُولُ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلَانٍ لِاسْمِكَ فَمَا تَصْنَعُ
فِيهَا؟ قَالَ: أَمَّا إِذْ قُلْتَ هَذَا فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى مَا يَخْرُجُ
مِنْهَا فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِي ثُلُثًا وَأَرُدُّ
فِيهَا ثُلُثَهُ
Abu Bakr bin Abi
Syaibah dan Zuhair bin Harb menceritakan kepadaku -dan ini lafzdz Abu Bakr-,
keduanya berkata: Yazid bin Harun menceritakan kepadaku: Abdul Aziz bin Abi
Salamah menceritakan kepadaku, dari Wahb bin Kaisan, dari Ubaid bin Umair
Al-Laitsi, dari Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau bersabda: Ketika seorang
berada di tengah hamparan padang, tiba-tiba terdengar olehnya suara dari awan:
“Siramilah kebun si fulan!” Seketika itu bergeraklah awan minggir menghujani
lahan yang berbatuan hitam. Hingga penuhlah salah satu sungai dari
sungai-sungai yang ada. (Air pun mengalir) lalu dia ikuti aliran, hingga
dijumpainya seorang lelaki tengah berdiri di kebunnya sibuk mengalirkan air
dengan alat yang dipegangnya. Dia bertanya: “Wahai hamba Allah, siapa namamu?”
Lelaki ini menjawab: “Aku Fulan.” –persis dengan nama yang terdengar dari
awan–, kemudian menimpali: “Wahai hamba Allah, apa gerangan yang menyebabkan
dirimu bertanya perihal namaku?” Berkatalah ia: “Sungguh aku telah mendengar
suara dari awan yang telah mencurahkan air (yang mengalir ke kebunmu) ini. Aku
mendengar suara: ‘Siramilah kebun si fulan!’ –menyebut namamu– (Wahai fulan)
apakah yang telah kau lakukan terhadap kebunmu?” Lelaki ini menjawab: “Jika
demikian apa yang kau katakan, maka sesungguhnya aku selalu melihat hasil panen
dari kebunku. Aku sedekahkan sepertiganya, sepertiga lagi aku makan bersama
keluargaku, dan sepertiga lainnya aku gunakan untuk mengolah kebunku.”
Takhrij hadits
Al-Imam Muslim t
meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya Kitab Az-Zuhd war Raqaiq no. 2984,
dari dua gurunya; Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb. Keduanya
meriwayatkan dari Yazid bin Harun, dari Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah1, dari Wahb
bin Kaisan, dari ‘Ubaid bin ‘Umair Al-Laitsi, dari Abu Hurairah z, dari
Rasulullah ﷺ dengan lafadz di
atas, dan ini adalah lafadz Abu Bakr ibnu Abi Syaibah.
Melalui jalan Yazid
bin Harun dari Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah inilah, Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan dalam Al-Musnad (2/296). Demikian pula Ibnu Hibban dalam
Shahih-nya no. 3355.
Diriwayatkan pula oleh
Abu Nu’aim Al-Asbahani dalam Akhbar Al-Ashbahan (2/192) melalui jalan ‘Amr bin
Marzuq, dari Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah, dengan sanad yang sama, dari Abu
Hurairah رضي الله عنه
Al-Imam Muslim t juga
meriwayatkan dalam Ash-Shahih no. 2984 melalui guru ketiganya; Ahmad bin ‘Abdah
Adh-Dhabbi, dari Abu Dawud2, dari Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah, dengan sanad
yang sama pula dari Abu Hurairah z, dengan lafadz:
وَأَجْعَلُ ثُلُثَهُ
فِي الْمَسَاكِينِ وَالسَّائِلِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ
“Dan aku sediakan
sepertiganya untuk orang-orang miskin, peminta-minta, dan ibnu sabil.”
Hadits ini shahih,
semua perawinya terpercaya, dan tidak ada keraguan atas keshahihan hadits ini,
menurut kesepakatan kaum muslimin atas keshahihan dua kitab Shahih Al-Bukhari
dan Shahih Muslim. Allahu ta’ala a’lam.
Kebaikan dunia dan
akhirat hanya dengan beribadah kepada Allah l
At-Tauhid, beribadah
kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya adalah sumber segala kebaikan.
Sebaliknya, kesyirikan dan kemaksiatan kepada-Nya adalah sumber segala bencana
dunia dan petaka di hari kemudian. Allah ﷻ berfirman:
“Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Ayat di atas, demikian
pula hadits Abu Hurairah رضي الله عنه yang baru saja kita simak, adalah sekian dari dalil
Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan buah dari mentauhidkan Allah ﷻ dan ketaatan
kepada-Nya.
Lihatlah berita
Rasulullah ﷺ yang sangat
menakjubkan. Kisah seorang lelaki beriman yang mengeluarkan sedekah dari
kebunnya. Dengan tauhid; beribadah kepada Allah ﷻ semata dan zakat yang dia keluarkan, Allah ﷻ bukakan berkah
dari langit dan bumi. Allah ﷻ suburkan
tanahnya, Allah ﷻ tumbuh
kembangkan kebunnya, bahkan Allah ﷻ khususkan siraman hujan untuknya. Subhanallah, sungguh
sebuah kisah yang penuh ibrah. Tentu bagi mereka yang mau merenungkannya.
Maka, siapapun yang
berharap keberkahan dalam harta serta mendambakan tambahan yang berlipat dari
rezekinya baik di dunia yang fana ini atau di akhirat yang kekal dan abadi,
sungguh yang harus dia lakukan adalah beribadah kepada Allah ﷻ semata dan tunduk kepada
syariat-Nya. Untuk itulah sesungguhnya manusia diciptakan, sebagaimana Allah ﷻ berfirman:
“Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(Adz-Dzariyat: 56)
Sedekah tidak
mengurangi harta
Al-Imam An-Nawawi t
(631-676 H) berkata: “Hadits ini (menunjukkan) keutamaan bersedekah serta
berbuat baik kepada orang-orang miskin dan ibnu sabil. Demikian pula,
(menunjukkan) keutamaan seorang yang makan dari hasil jerih payahnya dan
keutamaan berinfak untuk keluarga.”3
Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه juga menunjukkan
bahwasanya sedekah tidaklah mengurangi harta, apalagi memusnahkannya.
Saudaraku, semoga Allah
ﷻ memberkahi dan
merahmati kita. Pernahkah terbersit bahwasanya sedekah yang kita keluarkan akan
mengurangi harta atau memusnahkannya? Mungkin bersitan itu pernah muncul dan
bisikan itu pernah terngiang di relung hati. Demikian setan membisiki dada-dada
manusia, sebagaimana Allah ﷻ berfirman
dalam Al-Qur’an:
“Setan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 268)
Setan senantiasa
menghalangi manusia dari kebajikan, menghalangi mereka dari sedekah dan
menakut-nakutinya dengan kemiskinan. Sementara Allah ﷻ berjanji akan memberikan ampunan dan keutamaan yang
besar. Di sinilah manusia diuji, apakah dia kokoh meyakini janji Allah ﷻ atau lebih
menuruti bujuk rayu setan.
Ketahuilah,
sesungguhnya sedekah yang dikeluarkan tidak akan mengurangi harta apalagi
menyebabkan musnahnya. Lelaki yang diceritakan Rasulullah ﷺ dalam hadits Abu Hurairah رضي الله عنه sama sekali tidak
merasakan kekurangan pada hartanya. Bahkan sebaliknya, Allah ﷻ bukakan pintu-pintu rezeki serta
berkah dari langit dan bumi.
Rahmat Allah ﷻ demikian luas.
Keutamaan-Nya tidak terhingga. Sedekah yang dikeluarkan hamba-Nya tidaklah
mengurangi harta, demikianlah janji Allah ﷻ sebagaimana terucap dari lisan Rasulullah n:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ
مِنْ مَالٍ
“Tidaklah sedekah itu
mengurangi harta….” (Al-Hadits)4
Asy-Syaikh Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’di t (1308-1376 H) menerangkan bahwa hadits ini menunjukkan
keutamaan sedekah. Sedekah tidaklah mengurangi harta. Kalaulah kita anggap
bahwa sedekah itu mengurangi harta dari satu sisi (yakni jumlahnya, pen.),
namun tambahan bagi harta sungguh akan dilimpahkan dari sisi-sisi lain.
Dengan sedekah, harta
akan Allah ﷻ berkahi. Dengan
sedekah, harta akan diselamatkan dari kejelekan-kejelekan dan akan berkembang.
Dengan sedekah, pintu-pintu rezeki dibukakan bagi orang yang bersedekah dan
akan dibukakan sebab-sebab bertambahnya harta, yang (semuanya itu) tidak
diberikan bagi orang yang tidak bersedekah.
(Jika demikian
keutamaan sedekah), akankah kemudian bisa kita bandingkan keutamaan-keutamaan
tersebut dengan keluarnya sebagian kecil dari harta yang disedekahkan? (Sungguh)
sedekah yang dikeluarkan pada tempatnya –karena Allah l– tidak pernah
memusnahkan harta, bahkan menguranginya pun tidak, sebagaimana ditegaskan dalam
sabda Rasulullah ﷺ. Demikian pula
kenyataan yang kita saksikan dan pengalaman yang terjadi (seluruhnya
menunjukkan bahwa sedekah tidaklah mengurangi harta, pen.).5
Saudaraku
rahimakumullah. Di antara keutamaan Allah ﷻ atas hamba-Nya yang bersedekah, Allah ﷻ memerintahkan malaikat untuk
mendoakan kebaikan atas mereka. Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ يَوْمٍ
يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا:
اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا؛ وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ
مُمْسِكًا تَلَفًا
Tidaklah suatu hari di
mana hamba-hamba Allah masuk di pagi hari, melainkan selalu turun dua malaikat.
Salah satu dari keduanya berdoa: ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi mereka yang
berinfak.’ Adapun malaikat kedua dia berdoa: ‘Ya Allah, berilah kebinasaan bagi
mereka yang menahan sedekah.’6
Allah ﷻ pun ganti dan
tambah harta mereka, sebagaimana Dia telah berjanji:
“Dan barang apa saja
yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki
yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)
Sedekah yang
dikeluarkan tidaklah hilang. Bahkan apa yang diinfakkan, itulah harta yang
sesungguhnya. Adalah Ummul Mukminin Aisyah x menuturkan:
أَنَّهُمْ ذَبَحُوا
شَاةً فَقَالَ النَّبِيُّ n: مَا بَقِيَ مِنْهَا؟ قَالَتْ: مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا
كَتِفُهَا. قَالَ: بَقِيَ كُلُّهَا إِلَّا كَتِفُهَا
(Suatu saat keluarga
Rasulullah n) menyembelih seekor kambing. (Setelah disedekahkan) Nabi ﷺ bertanya: “Adakah
yang tersisa darinya?” Aisyah berkata: “Tidak ada yang tersisa kecuali
bahunya.” Rasul pun menimpali: “(Justru) semuanya masih utuh (tersimpan),
kecuali bahu (yang belum disedekahkan).”7
Sabda Rasulullah ﷺ kepada istrinya
yang paling dicintai demikian tegas, bahwa apa yang disedekahkan tidaklah
musnah. Bahkan itulah yang sesungguhnya kekal di sisi Allah ﷻ, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Apa yang di sisimu
akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami
akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 96)
Demikian Rasulullah ﷺ mendidik istri dan
sahabatnya sampai hakikat ini tertanam dalam dada. Sehingga kita tidak heran
ketika mereka menginfakkan separuh hartanya, sebagian atau bahkan seluruh
hartanya di jalan Allah ﷻ sebagaimana
dilakukan Abu Bakr Ash-Shiddiq رضي الله عنه Mereka yakin
bahwa apa yang disisi Allah ﷻ itulah
yang kekal. Mereka yakin pula Allah ﷻ akan mengganti apa yang dikeluarkan dengan ganti yang
berlipat dan lebih baik.
Adalah Utsman bin
‘Affan رضي الله عنه –beliau
keluarkan seribu dinar (emas) – guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah saat perang
Tabuk. Beliau siapkan 30.000 pasukan dengan harta beliau. Allahu Akbar! Tidak
sedikitpun terbersit dalam benak beliau kemiskinan. Beliau pun meraih apa yang
lebih baik di sisi Allah ﷻ. Seraya
membolak-balikkan emas yang Utsman infakkan, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah membahayakan
bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.”8 (Karena sesungguhnya
beliau telah diampuni, pen.)9
Allah ﷻ musnahkan riba dan
suburkan sedekah
Beberapa keutamaan
sedekah dan pengaruhnya bagi harta yang telah kita sebut di atas mengingatkan
kita akan firman Allah ﷻ:
“Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 276)
Riba dan sedekah
adalah dua hal yang sangat berlawanan. Sedekah, yang kebanyakan manusia bakhil
karena khawatir hartanya berkurang, justru itulah yang Allah ﷻ kembangkan. Sebaliknya, apa yang
manusia sangka menambah hartanya yaitu riba, justru Allah ﷻ musnahkan bahkan Allah ﷻ perangi pelakunya.
Tetapi kebanyakan manusia telah terbalik penilaiannya. Janji Allah ﷻ tentang sedekah
mereka abaikan. Sebaliknya, ancaman Allah ﷻ tentang riba tidak lagi dihiraukan.
Manusia justru
berbondong menempuh jalan pintas mengembangkan hartanya dengan riba. Hingga berita
Rasulullah ﷺ tentang apa yang
terjadi di akhir zaman benar-benar terwujud. Beliau bersabda:
بَيْنَ يَدَيِ
السَّاعَةِ يَظْهَرُ الرِّبَا
“Di saat mendekati
kiamat akan tampak (meluas) riba.”10
Perkumpulan-perkumpulan
sering disisipi kegiatan simpan-pinjam dengan mengembalikan uang jasa yang tak
lain adalah riba. Deposito bank menjadi kebanggaan dan seolah menjadi jaminan
masa depan. Pendek kata, banyak kaum muslimin terjatuh pada riba. Keadaan ini
diperparah dengan banyaknya bank dan lembaga ribawi lainnya serta merebaknya
bank-bank berlabel “syariah”, yang ternyata produk-produknya masih sangat
kental dengan riba melalui rekayasa-rekayasa yang menipu kebanyakan
muslimin.11
Para pemuja dunia
menyangka bahwa bank dengan ribanya adalah sarana mengembangkan harta dan satu-satunya
lembaga yang terpercaya untuk menginvestasikan harta. Bahkan mungkin di antara
mereka ada yang mengatakan bahwasanya mustahil di zaman ini seseorang terlepas
dari riba. Mustahil seseorang hidup tanpa riba. Benarkah demikian? Tidak!
Justru riba adalah sumber kerusakan dan kehinaan. Bukan kebaikan yang diraup,
justru kemurkaan Allah ﷻ dan
kenistaanlah yang akan dituai.
Mereka sangka bahwa
dengan riba harta akan berkembang, sebaliknya dengan bersedekah harta
berkurang. Sungguh ini adalah buruk sangka kepada Allah ﷻ dan waswas setan. Tidakkah kita
renungkan firman Allah ﷻ:
“Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 276)
Ayat ini menegaskan
bahwa Allah ﷻ akan
memusnahkan riba dan akan hilangkan barakahnya. Riba adalah sebab turunnya
kejelekan-kejelekan pada harta dan tercabutnya barakah. Kalaulah seseorang
menginfakkan harta yang dia peroleh dengan riba, sungguh pahala tidaklah akan
dia raup, bahkan akan menjadi beban baginya di neraka. Adapun sedekah, maka Allah
ﷻ akan terus
menyuburkannya dan Allah ﷻ turunkan
barakah pada harta yang dikeluarkan zakatnya. Pahala sedekah akan Allah ﷻ pelihara (dan Allah
ﷻ lipat gandakan,
pen.) untuknya. (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 117)12
Krisis bangsa
dituntaskan dengan takwa, bukan dengan riba
Menyoal masalah yang
menimpa bangsa ini adalah hal yang sangat penting, terlebih keadaannya yang
semakin terpuruk. Karut-marutnya perpolitikan, kemerosotan moral dan akhlak
anak bangsa, kemiskinan dan krisis ekonomi yang terus mendera, benar-benar
membuat banyak orang berpikir dan bertanya apa sebenarnya yang harus dilakukan
untuk mengentaskan bangsa ini dari segala problema yang membelitnya. Dari mana
sesungguhnya perbaikan itu harus dimulai?
Dari pemikiran
materialis, di mana kebahagiaan diukur dengan emas dan perak, kemudian menatap
bahwasanya bank adalah lembaga keuangan yang kokoh, sehingga mampu menjamin
ekonomi individu atau bangsa, mulailah hati kebanyakan manusia terbelenggu
dengan bank dan menjadikannya sebagai salah satu ujung tombak perbaikan bangsa.
Mereka lalu melupakan perkara yang terpenting dalam kehidupan –yaitu At-Tauhid–
untuk menghadapi segala problematika kehidupan. Demikianlah jika qalbu telah
terbalik.
Sesungguhnya jalan
memperbaiki sebuah negeri atau individu hanya ada dalam firman Allah ﷻ dan sabda
Rasul-Nya ﷺ. Tetapi siapa di antara manusia yang mau
menjadikan Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai pedoman dan pelita di tengah gulita?
Hanyalah orang-orang yang beriman dan hidup qalbunya yang mau kembali kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه yang sedang kita
bahas sesungguhnya adalah jawaban dari pertanyaan yang menggelayuti benak para
pemikir dan pakar politik atau ekonomi. Bangsa ini akan terangkat dan akan
memiliki kemuliaan dengan ketakwaan. Allah ﷻ berfirman:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ
ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ
“Jika sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf : 96)
Maka perkara pertama
yang harus diselesaikan adalah mengentaskan umat ini dari kerusakan akidah,
menyeru mereka untuk memurnikan ibadah hanya untuk Allah ﷻ, dan mengajak semua manusia kembali kepada Al-Kitab dan
As-Sunnah. Mengikuti jejak as-salafush shalih.
Maka menjadi sebuah
keharusan bagi seluruh manusia untuk segera bertaubat kepada Allah ﷻ dari kesyirikan
dan memurnikan ibadah hanya untuk-Nya. Dengan itu, Allah ﷻ akan memberi kemuliaan dan
kebahagiaan. Demikianlah Nabi Nuh q mewasiatkan umatnya untuk segera bertaubat
kepada Allah ﷻ dan
menjanjikan kemuliaan dari-Nya. Allah ﷻ berfirman:
ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ
Maka aku (Nuh) katakan
kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan
membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)
Memenuhi seruan Allah ﷻ untuk meninggalkan
riba
Allah ﷻ menyeru
orang-orang yang beriman untuk bersegera meninggalkan riba, sebagaimana dalam
firman-Nya:
“Wahai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 278)
Orang yang beriman
ketika mendengar seruan Allah ﷻ dalam
ayat ini tentu lebih mengedepankan ridha-Nya daripada hawa nafsunya, lalu
bersegera meninggalkan riba yang terlaknat.13 Ayat ini cukup bagi orang yang
beriman untuk tidak berkubang dalam lumpur riba dan bergegas menghindarkan
dirinya dari azab Allah ﷻ yang
pedih.
Adapun mereka yang
terus berada dalam riba, maka sesungguhnya Allah ﷻ telah mengancam perang dalam ayat selanjutnya:
“Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 279)
Manusia –menurut
tabiatnya– akan ditimpa takut bila datang berita bahwa pasukan musuh datang
menyerang. Tetapi sungguh mengherankan, tatkala Allah ﷻ nyatakan perang bagi pelaku riba, justru kebanyakan
manusia menganggapnya sebagai angin lalu. Bahkan tidak jarang terucap dari
lisan mereka keraguan akan rezeki Allah ﷻ.
Mereka berkata: “Kalau kita pilih-pilih pekerjaan, kita makan apa? Kalau kita
tinggalkan bank, bagaimana nasib anak-anak kita? Kita kasih makan apa mereka?”
Sungguh mengejutkan ucapan ini! Tidakkah mereka sadar bahwa rezeki bukan di
tangan bank? Tidakkah mereka ingat bahwa Allah ﷻ lah Dzat yang memberikan rezeki?
“Dan tidak ada suatu
binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhil Mahfuzh).” (Hud: 6)
Namun, tatkala
keridhaan Allah ﷻ dicampakkan
dan neraka Allah ﷻ dianggap
sebagai berita yang tidak perlu dikhawatirkan, kaki pun terus melangkah untuk
menempuh apa yang Allah ﷻ haramkan.
Dahulu, empat belas
abad silam, Rasulullah ﷺ mengabarkan
akan datangnya masa di mana manusia tidak lagi memedulikan harta yang dia
peroleh, halal atau haram. Beliau ﷺ bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى
النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَال الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ، أَمِنْ حَلَالٍ
أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang kepada
manusia zaman di mana seorang tidak lagi peduli akan harta yang dia ambil,
apakah dari yang halal atau dari yang haram.”14
Kenyataan itu telah
kita saksikan. Manusia tidak lagi peduli dengan riba. Tidak lagi menimbang
harta yang di tangannya apakah itu halal atau haram. Hingga ancaman Allah ﷻ menimpa mereka
yang bergelimang riba. Meskipun secara zhahir mereka memiliki sesuatu dari
dunia, akan tetapi sungguh Allah ﷻ hancurkan kehidupannya. Dada-dada mereka sempit,
nafas-nafas mereka terengah. Allah ﷻ palingkan dirinya dari akhirat, mereka pun tersibukkan
dengan emas dan perak. Allah ﷻ jatuhkan
dunianya dan akhiratnya. Allah ﷻ musnahkan
hartanya. Allah ﷻ cabut
ketentraman hatinya. Allah ﷻ cabut
berkah pada harta, anak-anak, dan umurnya.
Siapakah yang mampu
menghadapi Allah ﷻ ketika
Dia memerangi? Tidakkah kita takut dengan ancaman Allah ﷻ dalam firman-Nya:
“Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 279)
Kehinaan itu bukan
hanya di dunia, bahkan kesengsaraan akan terus menimpa mereka yang terus
tenggelam dalam riba sesudah kematiannya.
Suatu pagi, seusai
salat subuh, Rasulullah ﷺ menceritakan
perjalanan mimpi beliau bersama malaikat Jibril dan Mikail e sebagaimana
diceritakan sahabat Samurah bin Jundub رضي الله عنه Dalam perjalanan
itu Rasul saksikan berbagai azab yang menimpa ahli maksiat, di antaranya para
pemakan riba. Rasulullah ﷺ bersabda
tentang apa yang menimpa mereka:
فَانْطَلَقْنَا حَتَّى
أَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ مِنْ دَمٍ فِيْهِ رَجُلٌ قَائِمٌ عَلَى وَسْطِ النَّهْرِ
وَعَلَى شَطِّ النَّهْرِ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي
فِي النَّهْرِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِالْحِجَارَةِ فِي
فِيْهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي
فِيْهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ
“… Kita pun pergi
hingga menjumpai sebuah sungai darah, di tengahnya seorang yang berdiri dan di
pinggir sungai seorang yang di hadapannya batu. Mendekatlah lelaki yang berada
di tengah sungai darah, di saat hampir keluar darinya, lelaki yang lain
melemparkan batu ke mulutnya hingga dia kembali ke tengah sungai, demikian
seterusnya setiap hendak keluar dilempar ke mulutnya batu hingga kembali
(tersiksa di tengah sungai darah).”15
Seorang yang beriman
selalu khawatir seandainya masih ada harta haram seperti riba yang masih
tersisa saat kematian menjemputnya. Dia pun membayangkan apa yang akan dia
katakan kepada Allah ﷻ ketika
ditanya tentang hartanya, dari mana didapat dan untuk apa digunakan. Rasulullah
ﷺ bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمُ
ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ
خَمْسٍ؛ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ،
وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا
عَلِمَ
“Tidak akan bergeser
kaki anak Adam dari sisi Rabbnya pada hari kiamat hingga ditanya lima perkara,
tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa
disirnakan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan untuk apa dikeluarkan,
dan tentang ilmunya apa yang telah dia amalkan.”16
Jalan kebenaran telah
dibentangkan di hadapan kita selebar-lebarnya. Rasulullah ﷺ telah menerangkan jalan menuju Allah
ﷻ sejelas-jelasnya.
Demikian pula jalan menuju jahannam telah diperingatkan. Qalbu yang hidup akan
segera bangkit memenuhi panggilan Allah ﷻ.
Qalbu yang bersih tentu tidak akan angkuh dan sombong di hadapan kebenaran yang
telah dipancangkan di hadapannya.
Tinggal kita memilih
untuk melangkahkan kaki. Akankah kita tinggalkan riba dan mengeluarkan sedekah,
atau tetap memakan riba dan menahan sedekah?
Alhamdulillahi rabbil
‘alamin. Washalallahu wa sallama ‘ala Nabiyyina Muhammadin.
1 Abdul ‘Aziz bin Abi
Salamah, dinisbatkan kepada kakeknya. Beliau adalah Abu Abdillah Abdul ‘Aziz
bin Abdillah bin Abi Salamah Al-Majisyun, termasuk kibar tabi’in (tabi’in
besar/utama), meninggal tahun 164 H.
2 Beliau adalah
Al-Imam Abu Dawud, Sulaiman bin Dawud bin Al-Jarud Ath-Thayalisi (204 H),
penulis kitab Al-Musnad. Hadits Abu Hurairah رضي الله
عنه ini dikeluarkan dalam Musnad-nya
no. 2587.
Melalui jalan Abu
Dawud, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 2984) dari guru beliau
Ahmad bin ‘Abdah –sebagaimana telah kita sebutkan–. Demikian pula Abu Nu’aim
Al-Asbahani dalam Hilyatul Auliya (3/275-276) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan
Al-Kubra (4/133).
3 Syarh Shahih Muslim
karya An-Nawawi t (18/115).
4 HR. Muslim no. 2588
dan At-Tirmidzi no. 2029 dari sahabat Abu Hurairah رضي
الله عنه
5 Lihat Bahjah Qulub
Al-Abrar karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t hal. 188, syarah
hadits ke-34.
6 Al-Bukhari no. 1442
dan Muslim no. 1010 dari hadits Abu Hurairah رضي الله
عنه
7 At-Tirmidzi dalam
As-Sunan no. 2470.
8 At-Tirmidzi dalam
As-Sunan no. 3701.
9 Demikian diterangkan
Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi.
10 Diriwayatkan
Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir sebagaimana dikatakan Al-Mundziri dalam
At-Targhib wat Tarhib (3/9). Al-Mundziri berkata: “Rawi-rawinya perawi shahih.”
11 Di antaranya
mengemas riba dengan istilah-istilah syariat, seperti mudharabah, murabahah,
dan semisalnya.
12 Dengan sedikit
perubahan.
13 Sebagaimana
dalam hadits yang diriwayatkan Muslim t dalam Ash-Shahih no. 1598.
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ n آكِلَ الرِّبَا
وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah ﷺ melaknat orang
yang memakan (memakai) riba, memberi riba, penulisnya dan dua saksinya. Kata
beliau: “Mereka ini sama.”
An-Nawawi t berkata
dalam Syarh Shahih Muslim: “Tegas dalam hadits ini akan keharaman mencatat akad
dua orang yang melakukan riba dan menjadi saksi (dalam akad tersebut). Dalam
hadits ini pula (ada dalil) diharamkannya membantu perkara yang batil.”
14 HR. Al-Bukhari
(4/313) dengan syarh Fathul Bari no. 2083 dari hadits Abu Hurairah رضي الله عنه
15 Al-Bukhari dalam
Ash-Shahih no. 1386.
16 HR.
At-Tirmidzi no. 2416, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t.
Mewaspadai Sistem Ekonomi Yahudi
(ditulis
oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi)
Yahudi adalah bangsa
yang berkarakter buruk; curang, licik, angkuh, zalim, dan lihai mengotak-atik
otak dalam rangka berbuat makar terhadap para rasul, mengakali syariat agama,
serta mengubah kitab suci. Mereka musuh abadi umat Islam yang berada di balik
makar Khawarij dan Syi’ah. Penebar segala produk kebatilan di tengah-tengah
umat dan berambisi menggenggam dunia dengan segala cara.1
Tak heran, bila Allah ﷻ memerintahkan
hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berlepas diri (bara’) dari kaum Yahudi
dengan tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin dan memboikot segala prinsip,
ibadah, serta jalan hidup yang ada pada mereka. Allah ﷻ berfirman:
“Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani
sebagai pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
Bahkan Allah ﷻ mengancam siapa
saja yang mengikuti agama dan hawa nafsu mereka dengan ancaman yang keras. Allah
ﷻ berfirman:
“Jika kamu mengikuti
hawa nafsu mereka (Yahudi dan Nashrani) setelah datang kepadamu ilmu
(kebenaran), maka Allah tiada menjadi Pembela dan Penolong bagimu.”
(Al-Baqarah: 120)
Karakteristik Bangsa
Yahudi
Para pembaca yang
semoga dirahmati Allah ﷻ, Yahudi adalah bangsa
yang paling loba (tamak) terhadap kehidupan di dunia. Hal ini sebagaimana
terungkap dalam firman Allah ﷻ:
“Dan sungguh kamu akan
mendapati mereka (Yahudi), manusia yang paling loba kepada kehidupan (di
dunia), bahkan (lebih loba lagi) daripada orang-orang musyrik. Masing-masing
mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu
sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha mengetahui apa yang
mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 96)
Karakteristik mereka
dalam menjalani roda kehidupan pun sungguh “luar biasa”. Kitab suci mereka
campakkan. Sedangkan para rasul (manusia terbaik di masanya) mereka dustakan
dan bahkan sebagian yang lain mereka bunuh, manakala ajaran yang dibawa tidak
sesuai dengan keinginan (baca: hawa nafsu) mereka. Allah ﷻ berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami
telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa. Dan telah Kami susulkan
(berturut-turut) sesudah itu rasul-rasul. Dan telah Kami berikan bukti-bukti
kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan
Ruhul-Qudus (Malaikat Jibril). Apakah setiap kali datang kepada kalian seorang
rasul membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu
kalian bersikap angkuh? Maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan
dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?!” (Al-Baqarah: 87)
Demikian pula
mayoritas dari mereka bersegera dalam membuat dosa, permusuhan, dan memakan
harta haram. Sementara orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka tidak ada
yang melarang dari perbuatan tersebut. Allah ﷻ berfirman:
“Dan kamu akan melihat
mayoritas dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan,
dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan
itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang
mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (Al-Maidah: 62-63)
Tak ketinggalan pula
perilaku zalim, menghalangi (manusia) dari jalan Allah ﷻ, memakan riba yang jelas-jelas dilarang, dan memakan harta
benda orang lain dengan jalan yang batil. Dengan sebab itulah akhirnya Allah ﷻ haramkan atas
mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka. Hal ini
sebagaimana firman Allah ﷻ:
“Maka disebabkan
kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba.
Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan
harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa’:
160-161)
Berikutnya, manakala
harta berhasil mereka raih, maka kesombongan, bangga diri, dan sifat bakhil-lah
yang menguasai mereka. Allah ﷻ berfirman:
“Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Yaitu)
orang-orang yang bakhil, menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil, dan
menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan Kami
sediakan bagi orang-orang kafir tersebut azab yang menghinakan.” (An-Nisa’:
36-37)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah t berkata: “Dalam ayat ini Allah ﷻ menyifati orang-orang Yahudi dengan sifat bakhil; yakni
bakhil ilmu dan harta. Walaupun sebenarnya konteks ayat ini lebih mengarah pada
kebakhilan mereka dalam hal ilmu…” (Lihat Iqtidha’ Ash-Shiratil Mustaqim, juz 1
hal. 83)
Pijakan Sistem Ekonomi
Yahudi
Para pembaca yang
semoga dirahmati Allah ﷻ, segala sistem yang
melanggar aturan Allah ﷻ dan
Rasul-Nya pasti berkesudahan buruk walaupun dirancang secara sistematis
dan dikemas dengan kemasan yang menarik. Termasuk pijakan sistem ekonomi
yang ada pada bangsa Yahudi; menjalankan riba dan memakan dari hasilnya,
memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil, memakan yang haram,
berbuat bakhil, dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil. Semua itu
tidaklah mengantarkan kecuali kepada keterpurukan dan krisis berkepanjangan,
yang berdampak pada stabilitas kehidupan bermasyarakat. Untuk membuktikannya
simaklah keterangan berikut ini:
1. Menjalankan riba
dan memakan dari hasilnya
Riba merupakan dosa
besar yang diharamkan Allah ﷻ kepada
bangsa Yahudi, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 161 di atas. Pengharaman
itu pun terus berlanjut pada umat Rasulullah n. Allah ﷻ berfirman:
“Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri (ketika dibangkitkan dari kuburnya,
pen.) melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, disebabkan mereka
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Allah, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), urusannya
(terserah) Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni An-Nar; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan shadaqah. Dan Allah tidak suka terhadap orang yang tetap di atas
kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, merekalah
orang-orang yang mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tiada kekhawatiran pada
diri mereka dan tiada (pula) mereka bersedih hati. Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kalian benar-benar orang yang beriman. Jika kalian masih
keberatan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagi kalian pokok (modal) harta; kalian tidaklah menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.” (Al-Baqarah: 275-279)
Firman Allah ﷻ di atas merupakan
salah satu rangkaian ayat tentang pengharaman riba dan dahsyatnya hukuman Allah
ﷻ bagi yang
menjalankannya. Di dunia diperangi oleh Allah ﷻ dan Rasul-Nya, sedangkan di akhirat tidak dapat berdiri
ketika dibangkitkan dari kuburnya melainkan seperti berdirinya orang yang
kerasukan setan. Baik itu riba dain (dalam utang piutang), riba fadlh, ataupun
riba nasi’ah. Bagaimana rincian dari jenis-jenis riba tersebut? Untuk
mengetahuinya silakan membaca kembali Majalah Asy Syari’ah edisi Riba di
Sekitar Kita No. 28/1428 H/2007 dan edisi Permasalahan Seputar Bank &
Asuransi No. 29/1428 H/2007. Demikian pula kajian utama pada edisi kali ini.
Suatu kampung (baca:
tempat) yang tersebar padanya riba, maka masyarakatnya setiap saat terancam
mendapatkan azab dari Allah ﷻ. Rasulullah n
bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا
وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Jika zina dan riba
telah nampak di sebuah kampung, maka sungguh (masyarakatnya) telah menghalalkan
diri mereka untuk mendapatkan azab Allah ﷻ.”
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/43. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Al-Jami’ no. 679)
Lebih dari itu,
praktik riba merupakan sebab kehinaan umat dan keterpurukannya. Rasulullah n
bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ
بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ
وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى
تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian melakukan
praktik jual beli ‘inah (salah satu bentuk transaksi riba, pen.)2, mengambil
ekor-ekor sapi (sibuk dengan peternakan), senang dengan bercocok tanam, dan
meninggalkan jihad, maka Allah ﷻ akan
timpakan atas kalian kehinaan yang tidak akan (kehinaan tersebut) dicabut dari
sisi kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam
As-Sunan no. 3462 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 5/316 dari sahabat
Abdullah bin Umar c. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah
Ash-Shahihah no.11)
2. Memakan harta benda
orang lain dengan jalan yang batil
Memakan harta benda
sesama dengan jalan yang batil merupakan salah satu sumber petaka dalam
kehidupan bermasyarakat. Dampaknya pun amat buruk bagi lingkungan dan
stabilitas keamanan. Baik yang nampak seperti merampok, mencuri, mencopet,
dll., maupun yang tidak transparan seperti; penipuan dengan berbagai modusnya,
menerima suap untuk memenangkan pihak tertentu, dll. Allah ﷻ berfirman:
“Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku di atas azas saling
meridhai di antara kalian.” (An-Nisa’: 29)
“Dan janganlah
sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat
memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)
3. Memakan yang haram
Memakan yang haram
dengan berbagai bentuknya merupakan sebab dicabutnya barakah dari kehidupan
seseorang, keluarga, ataupun masyarakat. Padahal keberadaan barakah dalam
kehidupan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh siapa pun yang
menjalani roda kehidupan ini. Rasulullah n bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ!
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا. وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ
الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ. فَقَالَ: {يَآ أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ}. فَقَالَ: {يَآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ}. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ.
أَشْعَثَ أَغْبَرَ. يَمُدُّ يَدَيْهِِِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ! يَا رَبِّ!
وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ
بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟!
Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik (Suci) tidaklah menerima kecuali
sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang yang
beriman dengan apa yang telah Allah ﷻ perintahkan kepada para Rasul. Allah ﷻ berfirman: “Wahai para Rasul,
makanlah dari segala sesuatu yang baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku
Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” (Al-Mukminun: 51) Dia juga
berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari segala sesuatu yang
baik, yang telah Kami rizkikan kepada kalian.” (Al-Baqarah: 172) Kemudian
Rasulullah n menyebutkan tentang seorang laki-laki yang sedang melakukan
perjalanan jauh (safar), dalam kondisi rambutnya acak-acakan dan tubuhnya
dipenuhi oleh debu, lalu menengadahkan tangannya ke langit (seraya) berdoa: ‘Ya
Rabbi! Ya Rabbi!’ Sementara makanannya dari hasil yang haram, minumannya dari
hasil yang haram, pakaiannya pun dari hasil yang haram, dan (badannya) tumbuh
berkembang dari hasil yang haram. Maka mana mungkin doanya akan dikabulkan oleh
Allah?!” (HR. Muslim dalam Shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah z, hadits no.
1015)
Perjudian dengan segala
modelnya, menjadi jalan pintas untuk memakan harta yang haram. Padahal ia dapat
menyebabkan permusuhan dan kebencian di tengah masyarakat, serta dapat
menghalangi mereka dari mengingat Allah ﷻ dan menegakkan shalat. Akibatnya, ketenangan hidup
dengan sesama tidak diraih, sementara jiwa pun menjadi liar karena hampa dari
mengingat Allah ﷻ dan
menegakkan shalat. Allah ﷻ berfirman:
“Wahai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban) untuk berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian
dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari perbuatan itu).”
(Al-Maidah: 90-91)
4. Berbuat bakhil dan
menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil
Bakhil merupakan
perbuatan tercela yang diharamkan Allah ﷻ.
Pelakunya akan dililit kesukaran hidup dan digiring oleh Allah ﷻ untuk terjerumus
ke dalam kejelekan dan kejahatan.3 Allah ﷻ berfirman:
“Dan adapun
orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala
terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail:
8-10)
Bahkan bakhil dan
menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil merupakan pangkal kebinasaan. Ia telah
mengantarkan umat terdahulu pada pertumpahan darah dan menghalalkan segala yang
diharamkan Allah ﷻ. Rasulullah n
bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ
فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ
الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا
دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ
“Jagalah diri kalian
dari perbuatan zalim, karena kezaliman itu kegelapan pada hari kiamat, dan
jagalah diri kalian dari perbuatan bakhil (dan ambisi untuk bakhil), karena ia
telah membinasakan umat sebelum kalian. Perbuatan bakhil (dan ambisi untuk
bakhil) itu mengantarkan mereka pada pertumpahan darah dan menghalalkan segala
yang diharamkan Allah ﷻ.” (HR. Muslim dalam
Shahihnya no. 2578, dari sahabat Jabir bin Abdillah z)
Awas Bahaya Yahudi!
Para pembaca yang
semoga dirahmati Allah ﷻ, dari bahasan
sebelumnya telah diketahui karakteristik bangsa Yahudi dalam menjalani roda
kehidupan, khususnya tingkah polah mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mereka menjalankan
riba dan memakan dari hasilnya, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 161.
Mereka memakan harta
benda orang dengan jalan yang batil, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 161.
Mereka memakan yang
haram, sebagaimana dalam Surat Al-Maidah ayat 62.
Manakala harta telah
diraih, mereka pun berbuat bakhil bahkan menyuruh orang lain untuk berbuat
bakhil, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 37.
Tentunya karakteristik
Yahudi dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut tidak selaras dengan Islam yang
dibawa Rasulullah n. Agama suci yang menanamkan sikap selektif dalam memilih
mata pencaharian kepada umatnya. Islam tak menghalalkan segala cara demi
memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan semua telah diatur sedemikian rupa demi
kebahagiaan pemeluknya di dunia dan di akhirat. Allah ﷻ berfirman:
“Wahai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan; karena setan itu adalah musuh
yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah: 168)
Lebih dari itu, segala
pijakan sistem ekonomi Yahudi tersebut mengantarkan kepada keterpurukan dan krisis
ekonomi berkepanjangan, yang berdampak pada stabilitas kehidupan bermasyarakat.
Riba mengantarkan kepada kehinaan, keterpurukan, dan azab Allah ﷻ. Memakan harta benda orang lain dengan
jalan yang batil merupakan salah satu sumber petaka dalam kehidupan
bermasyarakat. Memakan yang haram, penyirna barakah dalam kehidupan. Perbuatan
bakhil penyebab kesukaran hidup, pertumpahan darah, dan sikap menghalalkan yang
diharamkan Allah ﷻ.
Atas dasar itulah,
seyogianya umat Islam mewaspadai sistem ekonomi yang berpijak pada
karakteristik orang-orang Yahudi yang dimurkai Allah ﷻ itu. Tidak boleh mengikuti sistem ekonomi mereka,
apalagi menjadikannya sebagai acuan pendapatan baik bagi individu, keluarga,
ataupun negara.
Akhir kata, semoga Allah
ﷻ mengembalikan umat
Islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah n, serta berpegang teguh dengannya
berdasarkan pemahaman as-salafush shalih. Karena dengan itulah akan teratasi
segala keterpurukan, akan sirna segala kehinaan, dan akan diraih kejayaan yang
telah lama dirindukan.
Wallahu a’lam
bish-shawab.
1 Untuk lebih rincinya silakan kaji kembali Majalah
Asy-Syari’ah edisi Awas Bahaya Yahudi! No. 32/1428 H/2007.
2 Yaitu seseorang menjual barangnya kepada
orang lain dengan cara kredit, lantas barang tersebut diserahkan kepada si
pembeli. Kemudian (si penjual) membeli barang yang dijualnya tersebut secara
kontan dari si pembeli tadi (sebelum lunas kreditnya) dengan harga yang lebih
murah dari harga penjualannya. (Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 1, hal. 42)
3 Untuk lebih jelasnya, lihat Tafsir As-Sa’di
saat menafsirkan ayat 8-10 dari Surat Al-Lail.
Posting Komentar untuk "Seputar Keuangan Syariah, Perbankan Syariah, Investasi Syariah"