Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seputar Keuangan Syariah, Perbankan Syariah, Investasi Syariah


Mengenal Bank Syariah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Gharib Jamal, salah satu peletak batu pertama bank Islam dalam makalahnya Al-Masharif wa Buyut At-Tamwil (hal. 45) menerangkan bahwa bank Islam adalah setiap lembaga yang bergerak di bidang perbankan yang berkomitmen menjauhi sistem pembungaan ribawi.
Dr. Abdullah As-Sa’idi menyebutkan definisi yang lebih detail: “Lembaga perbankan berorientasi bisnis yang dibangun di atas syariat Islam.” (Ar-Riba, 2/1021)
Menilik definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa bank-bank syariah memiliki ruang gerak yang cukup luas:
1. Bergerak di bidang mashrafiyah (keuangan), dalam hal ini yang paling menonjol adalah masalah wadi’ah (simpanan/deposito).
2. Bergerak di bidang tijariyah (bisnis).
a. Sistem bagi hasil (profit sharing)
Di dalamnya terdapat masalah musyarakah (partnership, project financing participation), mudharabah (trust financing, trust investment), muzara’ah (harvest yield profit sharing), dan musaqah (plantation management fee based an certain portion of yield).
b. Sistem jual beli (sale and purchase)
Di dalamnya terdapat masalah
– Murabahah (deferred payment sale/jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati)
– Bai’us Salam (infront payment sale/pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka)
– Istishnaa’ (purchase by order or manufacture/kontrak antara pembeli dan penyedia barang. Dalam kontrak ini, penyedia barang menerima pesanan dari pembeli)

Dalam praktiknya, bank-bank syariah mengembangkan ruang gerak mereka lebih luas seperti:
a. Bergerak di bidang sewa/leasing (operational lease and financial lease/akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti perpindahan kepemilikan atas barang atau jasa itu sendiri) yang dikenal dalam fiqih Islam dengan nama ijarah.
b. Bergerak di bidang jasa (fee-based services). Di dalamnya terdapat cukup banyak masalah antara lain: wakalah (deputyship/ pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan), kafalah (guaranty/jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau tertanggung), hiwalah (transfer services/ pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya, atau merupakan pemindahan beban utang dari orang yang berutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar utang), rahn (mortgage/menahan salah satu harta benda tak bergerak milik peminjam sebagai jaminan atau hipotek), dan qiradh (soft and benevolent loan/pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dengan kata lain, meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan).
Dari definisi di atas, juga nampak jelas komitmen yang menjadi landasan bank syariah, yaitu:
1. Semua upaya, usaha, bisnis, dan gerak mereka harus dibangun di atas syariah Islam.
Komitmen ini penerapannya cukup menyeluruh, meliputi hal-hal sebagaimana berikut:
a. Akad dan aspek legalitas
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, berupa rukun-rukunnya yang meliputi: penjual, pembeli, barang, harta, akad, dan juga syarat-syaratnya, seperti:
– Barang dan jasa harus halal
– Harga barang dan jasa harus jelas
– Tempat penyerahan (delivery) harus jelas
– Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi shortsale1 di pasar modal.
b. Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam perbankan syariah, suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok. Di antaranya:
– Apakah obyek pembiayaan halal atau haram?
– Apakah proyek menimbulkan kemadharatan untuk masyarakat?
– Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
– Apakah proyek berkaitan dengan judi?
– Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
c. Lingkungan kerja dan corporate culture (budaya perusahaan)
Hal ini meliputi masalah etika karyawan. Mereka harus bersifat amanah, shidiq (jujur), dan fathanah (cerdas). Juga cara berpakaian dan tingkah laku para karyawan harus mencerminkan bahwa mereka bekerja pada sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar.
2. Menjauhi dan menghilangkan segala sesuatu yang mengandung unsur riba.
Komitmen ini tertuang dalam beberapa ketetapan di hasil muktamar bank Islam internasional, disampaikan oleh salah seorang pejabat teras mereka yang bernama Dr. Abdul Aziz Najjar:
a. Bunga dari segala transaksi qiradh (pinjam-meminjam) adalah riba yang diharamkan. Sebab nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah secara tegas mengharamkan semua praktik qiradh dengan sistem di atas.
b. Riba adalah haram, sedikit atau banyak. Ini diambil dari pemahaman yang shahih terhadap firman Allahf:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
c.  Meminjamkan sesuatu secara riba adalah haram, tidak diperbolehkan walaupun dalam kondisi butuh atau darurat.
Mencari pinjaman (meminjam) dengan cara riba adalah haram, berdosa, kecuali bila dalam kondisi yang sangat darurat. Pernyataan ini dinukil dalam kitab Al-Mausu’ah Al-‘Ilmiyah wal ‘Amaliyah lil Bunuuk Al-Islamiyah (3/126). (Lihat Ar-Riba, Dr. As-Sa’idi (2/1021-1025), Bank Syariah, Antonio (hal. 29-34).
Wallahu a’lam.

1 Istilah yang lazim dalam perdagangan sekuritas yang menunjukkan tindakan penjualan sekuritas yang belum dimiliki penjual dengan harapan agar sekuritas tersebut menurun pada saat penyerahannya sehingga dengan cara itu penjual akan mendapatkan laba. Misal: Si A memperkirakan harga saham perusahaan X yang sekarang bernilai Rp 1.000,00 per lembar akan menurun pada sesi berikutnya. Si A lantas melakukan transaksi penjualan dengan si B (dalam keadaan si A belum memiliki saham perusahaan X). Ketika pada sesi berikutnya, harga saham tersebut turun menjadi (misal menjadi Rp 800,00), si A pun segera melakukan aksi beli saham perusahaan X untuk kemudian diserahkan kepada B. Maka keuntungan si A pada saat penyerahan adalah Rp 200,00 dikalikan jumlah lembar saham yang berhasil dia jual.



Menapaki Sejarah Bank Syariah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)

Dewasa ini berkembang tren baru yang menyeruak dalam relung-relung kehidupan anak bangsa, menyusup dari ingar-bingar suasana kota metropolitan sampai keheningan wilayah pedesaan. Yakni semangat menampilkan nuansa “Islami”. Di mana hampir semua aktivitas masa kini tak luput dari ‘hawa Islami’. Dari perkara-perkara yang bener sampai perkara yang keblinger.
Sebut saja istilah “pacaran Islami”, “musik Islami”, “konser religi”, “wisata religi”, “sinetron Islami”, “novel Islami”,  “parpol Islam”, dan seabrek istilah-istilah populer dengan aroma “Islami”.
Di satu sisi, kita sebagai seorang muslim merasa senang dengan adanya geliat semangat berislam. Itu pertanda ada secercah harapan, Islam menjadi sesuatu yang mereka sukai, jauh dari sikap antipati.
Namun di sisi lain, kita harus melakukan upaya penyaringan, pembersihan, dan penyuluhan kepada segenap masyarakat tentang Islam yang benar berdasarkan bimbingan Allahf dan Rasulullah dengan pemahaman as-salafush shalih. Sebab, tidak semua yang “beraroma Islami” itu datangnya dari Islam. Tidak pula semua yang bernuansa Islami itu betul-betul ajaran Islam yang murni. Bagi kita, yang penting bukanlah kilauan nama dan istilah, namun yang dituntut adalah hakikat dan keabsahannya secara syariah.
Begitu pula yang sedang marak di dunia ekonomi. Kini istilah “ekonomi Islam” dan “bank syariah”, membahana menjadi wajah baru yang tampil sebagai pilar penting yang menghiasi ekonomi dunia. Bahkan dianggap sebagai solusi urgen dalam menghadapi krisis keuangan global yang melanda dunia.
Bagaimanakah sepak terjang bank syariah dalam mengarungi dunia ekonomi? Simak ulasan berikut yang mengupas secara global seputar bank syariah.

Sejarah Munculnya Bank Syariah
Sudah cukup lama dunia Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah (Islamic economic system) dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Hal ini dilatarbelakangi beberapa hal. Di antaranya:
1. Kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total, sebagaimana perintah Allah f dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh.” (Al-Baqarah: 208)
2. Kesadaran bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terakhir Muhammad bin Abdillah adalah syariat yang komprehensif, menyeluruh dan merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Bersamaan dengan itu, syariat Islam juga universal, dapat diterapkan di setiap waktu dan tempat sampai hari kiamat nanti.
3. Kenyataan bahwa selama ini yang mendominasi sistem perekonomian dunia adalah sistem yang berbasis pada nilai-nilai riba, ditukangi oleh tangan-tangan zionis dengan menebarkan wadah dalam bentuk bank-bank konvensional yang merupakan kepanjangan tangan dari riba jahiliah yang dulu dimusnahkan oleh Rasulullah

Namun pada kenyataannya, keinginan tersebut tidak mudah diwujudkan di alam nyata. Bahkan mengalami hambatan cukup besar di tubuh muslimin sendiri apalagi dari pihak non-muslim. Masih banyak kalangan yang berpandangan bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang. Islam hanya menangani masalah-masalah ritual keagamaan, dengan anggapan, itu adalah dunia putih. Sementara bank dan pasar uang adalah dunia hitam, penuh tipu daya dan kelicikan.
Maka tidaklah mengherankan bila ada sejumlah “cendekiawan” dan “ekonom” melihat Islam, dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth). Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu-rambu Ilahi.
Belum lagi ditambah dengan merambahnya “kemalasan  intelektual” yang cenderung pragmatis sehingga memunculkan anggapan bahwa praktik pembungaan uang, seperti yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan ciptaan zionis (baca: bank konvensional) sudah ‘sejalan’ dengan ruh dan semangat Islam. Para ‘alim ulama’ dan ‘kaum cendekia’ pun tinggal membubuhkan stempel saja.
Dalam situasi dan kondisi yang tidak menentu seperti gambaran di atas, lahirlah sistem perbankan syariah.
Upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing (untung dan rugi ditanggung bersama, red.) tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. (Bank Syariah, dari Teori ke Praktik hal. 18, Mohammad Syafi’i Antonio cet. Gema Insani-Tazkia Cendekia)
Rintisan institusional lain yang cukup signifikan dalam upaya pengembangan bank syariah adalah upaya percobaan yang dilakukan Bank IDDI Khor (rural social bank)1 yang mendirikan lembaga keuangan bernama Mit Ghamr Bank, didirikan di Mesir tahun 1963 M. Para pendirinya adalah Prof. Dr. Ahmad Najjar, Isa Abduh, dan Gharib Jamal.
Uji coba ini ternyata membuahkan hasil yang cukup spektakuler. Dalam kurun waktu empat tahun, Mit Ghamr Bank sudah memiliki tujuh cabang di lokasi sekitarnya, melebarkan sayap di empat tempat, dan mendirikan pusat litbang (penelitian dan pengembangan) untuk melayani permintaan di berbagai tempat yang ingin membuka bank serupa. Setelah itu, mereka pun mengepakkan sayap ke dunia internasional khususnya dunia Islam.
Semenjak itu, kajian, diskusi, seminar, dan pertemuan-pertemuan untuk mengembangkan bank syariah pun semakin marak sampai pada tingkat sidang menteri luar negeri negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Akhirnya, lahirlah Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah dengan semua negara anggota OKI sebagai anggotanya.
Di tahun yang sama, muncul Bank Islam Dubai (Dubai Islamic Bank). Pada akhir periode 1970-an serta awal 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Banglades, dan Turki.
Sementara di tanah air, bank syariah baru muncul dengan ditandatanganinya akta pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Nopember 1991. BMI ini lahir berkat hasil kerja TPMUI (Tim Perbankan Majelis Ulama Indonesia). Setelah itu bermunculan bank-bank syariah lainnya. Ada yang secara khusus, ada pula bank-bank konvensional yang membuka sub-syariah seperti BNI Syariah, Syariah Mandiri, Niaga Syariah, Mega Syariah, dan sebagainya.
Hasilnya, bank-bank syariah sekarang menjadi ikon baru dalam dunia perbankan dan perekonomian dunia. Aset mereka menggelembung secara siginifikan dari tahun ke tahun.
Suatu hal yang patut juga dicatat adalah saat nama besar dalam dunia keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Fleming, ANZ, Chase Chemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain telah membuka cabang dan subsidiaries (anak perusahaan, red.) yang berdasarkan syariah.
Dalam dunia pasar modal pun, Islamic Fund (Reksa Dana Syariah, red.) kini ramai diperdagangkan. Suatu hal yang mendorong singa pasar modal dunia, Dow Jones untuk menerbitkan Islamic Dow Jones Index. Oleh karena itu, tak heran jika Scharf, mantan direktur utama Bank Islam Denmark yang beragama Kristen itu menyatakan bahwa bank Islam adalah partner baru dalam pembangunan. (Lihat Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrafiyah Al-Mu’ashirah, 2/1017-1020, karya Dr. Abdullah As-Sa’idi, dan Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hal. 18-27, Mohammad Syafi’i Antonio)


HUKUM JUAL BELI SAHAM & OBLIGASI
http://asysyariah.com/hukum-jual-beli-saham-obligasi/
Tidak diragukan bahwa banyak transaksi yang berlangsung di masa ini dalam bentuk jual beli saham dan obligasi. Ini merupakan salah satu aktivitas yang dijalankan oleh bank-bank komersial.
Oleh karena itu, kami akan menyebutkan definisi masing-masing dan perbedaan antara keduanya kemudian hukum memperjualbelikannya.

Definisi Saham & Obligasi
Saham merupakan satuan nilai dari modal sebuah perusahaan dagang atau real estate, atau perusahaan industri perusahaan milik atau kontrak. Obligasi adalah surat berharga atau instrumen yang mengandung perjanjian dari sebuah perusahaan atau bank (penerbit obligasi), yang diberikan kepada pemegang obligasi untuk memberikan nominal tertentu pada waktu tertentu, dengan imbalan suku bunga yang ditentukan disebabkan transaksi pinjaman yang dilangsungkan oleh pihak perusahaan atau instansi pemerintah atau perseorangan.
Sebuah perusahaan terkadang membutuhkan modal dalam jumlah besar untuk memperluas usahanya. Perusahaan tersebut membutuhkan pihak yang meminjami modal dengan pelunasan dalam jangka panjang.
Maka dari itu, perusahaan terpaksa menawarkannya kepada publik dengan menerbitkan surat berharga dalam bentuk obligasi dan menjualnya kepada publik dengan perjanjian bahwa tiap obligasi akan mendapatkan suku bunga tertentu setiap tahun, sampai waktu yang disepakati, lalu pinjaman tersebut dikembalikan sepenuhnya.
Transaksi jual beli obligasi telah biasa terjadi antara perorangan, sehingga menjadi hal yang wajar ketika seorang pemilik obligasi menjualnya kepada pihak lain, dan begitu seterusnya.

 Perbedaan Saham & Obligasi
Saham merupakan satu bagian dari modal perusahaan sehingga pemiliknya merupakan pemilik sebagian modal perusahaan seukuran dengan kadar sahamnya.
Adapun obligasi merupakan sebuah piutang atas perusahaan sehingga perusahaan berutang pada pembawa surat obligasi tersebut.
Obligasi memiliki jangka waktu tertentu untuk dilunasi.
Adapun saham tidak diberikan kepada pemiliknya melainkan saat pembubaran atau likuidasi perusahaan tersebut.

Pemegang saham merupakan seorang yang berserikat dalam perusahaan tersebut.
Dia berisiko rugi dan berkemungkinan untung, seiring dengan keberhasilan perusahaan atau kegagalannya. Nilai keberuntungannya tidak terbatas, bisa jadi untungnya besar, bisa jadi pula kerugiannya yang besar.

Para pemegang saham saling berbagi keuntungan perusahaan dan berbagi kerugiannya.
Adapun pemegang surat obligasi, dia memiliki keuntungan tetap yang terjamin saat memberi pinjaman sesuai dengan perjanjian dalam penerbitan obligasi tersebut, tidak bertambah atau berkurang. Selain itu, dia tidak menanggung risiko kerugian.
Ketika terjadi likuidasi atau pembubaran, prioritas pertama adalah para pemegang surat obligasi, karena hal itu merupakan utang perusahaan.
Pemilik saham mendapat sisa setelah dilunasinya utang.


Hukum Jual Beli Saham
Dilihat dari sisi usaha perusahaan tersebut, saham dapat dibagi menjadi dua:
Saham sebuah perusahaan yang haram, atau saham perusahaan yang berpenghasilan haram.
Contohnya, badan perbankan yang mengelola usaha-usaha ribawi, perusahaan judi, produsen visual pornografi atau pornoaksi, perusahaan miras, dan hal yang haram semisalnya. Jual beli saham perusahaan yang seperti ini hukumnya haram. Sebab, ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan sesuatu, Dia subhanahu wa ta’ala mengharamkan pula hasil penjualannya.

Selain itu, membeli saham perusahaan seperti ini termasuk ikut serta dalam dosa dan bantu-membantu padanya. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam hal dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)

 Saham sebuah perusahaan yang mubah.
Misalnya, sebuah perusahaan perdagangan yang mubah atau industri yang mubah. Pada perusahaan semacam ini, boleh kita menanam saham dengan syarat perusahaannya jelas dan tidak terdapat unsur penipuan atau kemajhulan yang parah. Sebab, saham merupakan bagian dari modal usaha yang memberi keuntungan pada pemilik modal dari usahanya tersebut, baik dalam bentuk industri maupun perdagangan. Hal ini jelas halal, tanpa keraguan.



Sanggahan
Pada jual beli saham, umumnya pembeli dan penjual tidak mengetahui semua milik perusahaan, sehingga jual beli ini ada unsur gharar atau jahalah, yakni ketidaktahuan terhadap barang yang diperjualbelikan.

Jawaban

Walaupun terdapat unsur jahalah dalam jual beli saham, tetapi jahalah pada kadar semacam itu dimaafkan karena jahalah pada kadar tersebut tidak mengakibatkan perselisihan. Jahalah yang menghalangi sahnya akad adalah yang berakibat tidak memungkinnya akad dilangsungkan atau menimbulkan perselisihan.
Contohnya, penjualan seekor kambing dari sekumpulan kambing yang berbeda-beda tanpa ditentukan kambing yang mana. Dalam kasus ini, penjual biasanya menginginkan untuk memberikan kambing yang terkecil, sementara pembeli umumnya menginginkan kambing yang paling bagus dan mahal. Akibatnya, keduanya akan bertikai dan menghambat terlaksananya transaksi jual beli.
Adapun jahalah dalam masalah ini tidak berakibat pertikaian, karena jual beli tersebut terjadi pada sebagian tertentu. Alasan lainnya adalah orang-orang membutuhkan transaksi jual beli ini. Apabila jual beli ini dilarang, akan terjadi mudharat yang cukup besar. Sementara itu, Penetap syariat tidak mengharamkan apa yang diperlukan manusia hanya karena ketidakjelasan yang kadarnya tidak banyak.
Oleh karena itu, dibolehkan menjual buah di pohon setelah tampak matangnya dan terus dibiarkan sampai dipetik, walaupun sebagian yang terjual belum ada. Sebagian ulama juga membolehkan jual beli yang masih ada dalam tanah, seperti wortel dan sejenisnya. Demikian pula jual beli buah yang kulitnya menjadi pelindungnya, seperti anggur, delima, pisang, semuanya masih dengan kulitnya. Ini adalah kesepakatan ulama.
Apalagi jika pada barang yang dijual ada sesuatu yang menunjukkan hal yang tidak terlihat, jual belinya diperbolehkan menurut kesepakatan ulama. Demikian pula tentang sebuah perusahaan yang keberhasilan atau kegagalannya bisa ditunjukkan oleh apa yang tampak.
Di samping itu, jual beli gharar dilarang karena mengakibatkan tindakan memakan harta manusia dengan cara yang batil. Apabila hal ini tidak dilakukan dan mengakibatkan mudarat yang lebih besar, hal tersebut boleh dilakukan demi menanggulangi mudarat yang lebih besar dengan melakukan mudarat yang lebih kecil. Ini merupakan kaidah yang telah tetap dalam syariat.



Hukum Jual Beli Obligasi
Telah dijelaskan di atas bahwa obligasi merupakan utang yang berbunga karena obligasi merupakan utang atas perusahaan. Pemegang obligasi berhak mendapatkan suku bunga tertentu setiap tahun, sama saja apakah perusahaan beruntung atau merugi.
Berdasarkan hal ini, obligasi merupakan transaksi ribawi sehingga sejak awal penerbitannya sudah tidak syar’i. Dengan demikian, jual belinya pun tidak syar’i, dan pemegangnya tidak boleh menjualnya.

(Diterjemahkan dan diringkas dari kitab ar-Riba wal Mu’amalat al-Mashrafiyyah, karya Dr. Umar bin Abdul Aziz al-Mutrik, wafat 1405 H)
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi


KETENTUAN-KETENTUAN MUDHAROBAH
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)

Islam mengatur mudharabah dengan ketentuan-ketentuan baku yang tidak boleh dilanggar agar sistem mudharabah tersebut syar’i. Jauh dari praktik ribawi, bersih dari noda pertaruhan dan judi.
Secara garis besar, ketentuan-ketentuan tersebut bermuara pada lima hal:
1. Modal (رَأْسُ الْمَالِ)
2. Kerja (الْعَمَلُ)
3. Keuntungan/Laba (الرِبْحُ)
4. Pemodal (صَاحِبُ الْمَالِ) dan pengelola (الْعَامِلُ/ الْمُضَارِبُ) yang biasa disingkat dengan (الْعَاقِدَانِ) yakni kedua belah pihak yang melakukan kontrak kerjasama usaha.
5. Akad/ijab qabul (الصِّيْغَةُ)

Modal (رَأْسُ الْمَالِ)

Para ahli fiqh menyebutkan beberapa ketentuan terkait dengan masalah modal, walau sebagian besarnya masih dalam perbincangan di antara mereka. Di antaranya adalah:
1. Modal harus berupa alat bayar (نَقْدٌ) dalam hal ini adalah mata uang, baik dinar, dirham, ataupun yang lain.
Ibnu Qudamah t dalam Al-Mughni (6/418) menjelaskan: “Tidak ada khilaf (di kalangan ulama) tentang kebolehan menjadikan dirham dan dinar sebagai modal. Karena berfungsi sebagai mata uang dan alat bayar. Semenjak zaman Nabi sampai sekarang, orang-orang melakukan syirkah dengan modal tersebut tanpa ada pengingkaran.”
Al-Imam An-Nawawi t juga menukilkan ijma’ ulama dalam Ar-Raudhah. Lihat Takmilah Al-Majmu’ (15/103) karya Al-Muthi’i.
Dalam hal menjadikan sebuah barang (عُرُوضٌ) sebagai modal, ada perselisihan di kalangan ahli fiqh. Bagi sebagian ahli fiqh yang memperbolehkannya, modal yang dianggap adalah nilai barang tersebut di saat akad, sedangkan laba rugi ditentukan sesuai persyaratan yang disepakati kedua belah pihak. Ketika akad mudharabah selesai (فَسَخٌ), kedua belah pihak mengembalikan modal awal dalam bentuk nilai barang tersebut saat akad. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Thawus, Auza’i, Hammad bin Abi Sulaiman, dan satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal. (Al-Mughni, 6/419)
Pendapat ini dirajihkan Asy-Syaikh Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (4/256).

2. Modal harus diketahui secara pasti jumlah nominalnya (مَعْلُومُ الْقَدَرِ) dan telah diberikan (مُعَيَّنٌ).
Ibnu Qudamah t mengatakan: “Termasuk persyaratan mudharabah adalah modal harus diketahui jumlah nominalnya, dan tidak diperbolehkan bila majhul (tidak diketahui) nominalnya atau juzaf (sesuatu yang dikira-kira tanpa ada timbangan atau takaran)….” (Al-Mughni, 6/422 dan 6/500).
Ini adalah madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad rahimahumallah. Dampak negatif yang ditimbulkan karena ketidakjelasan nominal sebuah modal adalah:
a) Ketika akad mudharabah selesai, berapa modal yang harus dikembalikan?
b) Hal tersebut rawan perselisihan dan memicu persengketaan.
c) Akan muncul banyak ketimpangan dan permasalahan saat usaha dijalankan.

Masalah 1: Si A punya uang dengan nominal tertentu dipinjam si B. Apakah boleh si A menjadikannya sebagai modal mudharabah dengan si C?
Al-Imam An-Nawawi t menjawab dalam Raudhah-nya. “Kalau seandainya dia punya piutang pada seseorang lalu berkata kepada pihak ketiga: ‘Aku lakukan akad qiradh denganmu. Modalnya adalah piutangku pada si fulan. Ambil dan kelolalah untuk sebuah usaha’ atau dia berkata  ‘Aku adakan akad qiradh denganmu. Ambil piutangku dan pakai sebagai modal usaha’ atau dia berkata ‘Ambil piutangku, jika sudah kamu pegang maka itu sebagai modal qiradh antara kita.’
Ini semua tidak sah. Bila sang amil (pengelola) sudah mengambilnya dan mengelola sebuah usaha, maka dia (si A) tidak berhak mendapatkan laba yang dipersyaratkan. Semua harta milik pemodal (shahibul maal), sedangkan sang amil hanya mendapatkan upah sebagai pegawai.
Begitu pula jika dia berkata kepada pihak yang berutang, ‘Aku adakan akad qiradh denganmu. Modalku adalah harta yang kamu pinjam.’ Ini semua tidak sah.” (Takmilah Al-Majmu’ 15/103, Al-Mughni 6/498)
Ketentuan sahnya akad mudharabah dengan kondisi di atas adalah dia harus mengambil terlebih dahulu harta tersebut (قَبْضٌ). Setelah ada di tangan, baru dia jadikan sebagai modal dalam akad mudharabah/qiradh.

Masalah 2: Bila si A punya uang yang dititipkan kepada si B, bolehkah dia jadikan modal mudharabah dengan si C?
Jawabnya:
Ada khilaf, yang rajih adalah diperbolehkan kecuali bila uang tersebut hilang. Maka tidak diperbolehkan sebab kasusnya akan sama dengan uang piutang dan ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad rahimahumallah (Al-Mughni 6/500-501).

3. Tidak dipersyaratkan modal mudharabah diserahkan sepenuhnya kepada amil (mudharib/pengelola).
Sebab menurut pendapat yang lebih rajih, sang pemodal juga diperbolehkan ikut terjun dalam usaha mudharabah dan laba dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Ini adalah pendapat Hambali yang dirajihkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (6/435).
Bahkan, bila sang pemodal mensyaratkan salah seorang pegawainya ikut serta dalam mengelola usaha, juga diperbolehkan dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat g.

4. Dalam akad syirkah secara umum, tidak dipersyaratkan kesamaan jenis mata uang dalam modal.
Masalah ini terjadi bila kedua belah pihak menjadi pemodal dan yang menjadi pengelola adalah salah satu atau keduanya, seperti pada syirkah ‘anan.
Maka diperbolehkan misalnya salah satunya mengeluarkan modal dalam bentuk rupiah, sementara yang lain dalam bentuk dolar.
Namun Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin t memberikan catatan, apabila kurs (nilai tukar) kedua mata uang tersebut baku tidak berubah-ubah. Jika sering terjadi perubahan (fluktuatif) maka modal harus dari mata uang sejenis. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/255, 264)

5. Apakah diperbolehkan mencampur modal dengan yang lainnya?
Masalah ini ada beberapa gambaran dengan hukum yang beragam:
a) Percampuran modal dua orang yang berserikat baik yang mengelola salah satu atau keduanya. Masalah ini terjadi pada syirkah ‘anan.
Pendapat yang rajih adalah tidak dipersyaratkan percampuran dua modal menjadi satu dalam usaha. Bahkan boleh masing-masing mengelola modalnya dalam sebuah usaha. Laba masing-masing usaha dibagi dua antara mereka.
Untuk lebih jelasnya, para ulama membagi “percampuran” menjadi dua:
• Percampuran total (اخْتِلَاطٌ تَامٌّ)
Yaitu mencampur dua modal menjadi satu untuk usaha yang dikelola secara bersama oleh kedua belah pihak. Jenis ini dipraktikkan di kalangan madzhab Syafi’i.
• Percampuran tempat (اخْتِلَاطُ الْمَكَانِ)
Maksudnya kedua modal disatukan di sebuah lokasi namun masing-masingnya dikelola dalam usaha yang berbeda.
Misal: sebuah supermarket, di sisi kanan untuk modal A dengan usaha A dikelola sendiri oleh pemilik modal. Sedangkan di sisi kiri untuk modal B dengan usaha B juga dikelola oleh pemodalnya sendiri.
Jenis ini dipakai oleh madzhab Maliki.
Pendapat yang shahih kedua percampuran di atas diperbolehkan. Ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad t dan dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t dalah Asy-Syarhul Mumti’ (4/264).
b) Percampuran modal mudharabah dengan harta sang amil (pengelola).
Pada prinsipnya, sang amil hanya mengelola modal mudharabah dengan shahibul maal (pemodal) dengan kesepakatan antara keduanya:
“Tidak diperbolehkan mencampur harta mudharabah dengan harta dia sendiri. Jika dilakukan dan tidak bisa diidentifikasi maka dia harus mengganti. Sebab, harta (mudharabah) adalah amanah. Kedudukannya sama dengan harta titipan (wadi’ah).” Demikian penjelasan Ibnu Qudamah t (Al-Mughni 6/464).
Adapun bila sang amil mengelola modal mudharabah untuk suatu usaha, di saat yang sama dia lupa mengelola hartanya sendiri, maka tidak boleh ada percampuran antara dua harta. Laba mudharabah bersendiri dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan laba usaha sendiri untuk diri pribadi. (Al-Mughni 6/467)
Keadaan di atas dikecualikan bila ada izin dari shahibul maal baik izin umum, menurut sebuah pendapat, maupun izin khusus, menurut pendapat yang lain.
c) Percampuran dua modal dari shahibul maal. Ada dua keadaan:
– Shahibul maal (pemodal) dalam waktu bersamaan menyerahkan dua modal sekaligus kepada ‘amil.
Hal ini diperbolehkan bila sang pemodal mempersyaratkan percampuran modal. Bila ada syarat tersebut, maka sang ‘amil boleh mencampur kedua modal, baik besar modal keduanya sama atau berbeda, persentase bagi hasilnya sama maupun ada perbedaan.
• Shahibul maal menyerahkan dua modal pada waktu yang berbeda. Percampuran modal diperbolehkan dengan dua ketentuan:
• Shahibul maal menyerahkan modal ke-2 sebelum ‘amil mengelola modal pertama
– Adanya syarat percampuran modal
(Ar-Riba fil Mu’amalah Al- Mashrafiyyah 2/1089, Dr. Abdullah As-Sa’idi. Lihat Al-Mughni 6/480)
d) Percampuran modal dari dua shahibul maal (pemodal) atau lebih.
Masalah ini ada kaitannya dengan salah satu pembahasan (amal/kerja) yang akan dibahas pada poin-poin berikutnya.
Wallahu a’lam.

Kerja  (الْعَمَلُ)
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan sang amil dalam mengelola harta/modal mudharabah.
1. Tidak diperbolehkan bagi sang amil baik dia pemodal atau pengelola, membeli dan atau menjual segala sesuatu yang diharamkan dalam syariat.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t menyatakan: “Tidak diperbolehkan bagi sang amil membeli khamr atau babi, baik keduanya (pemodal dan pengelola) muslim atau salah satunya muslim yang lainnya dzimmi1. Bila dia lakukan maka wajib ganti rugi. Ini juga pendapatnya Asy-Syafi’i….” (Al-Mughni 6/464-465)
Alasannya sangat jelas, seorang muslim tidak diperkenankan melakukan praktik jual beli barang haram. Begitu pula dzimmi, dia dilarang membelikan sesuatu yang tidak boleh dimiliki oleh seorang muslim.
2. Taqyiidul mudharabah (تَقْيِيدُ الْمُضَارَبَةِ)
Maksudnya adalah sang pemodal mempersyaratkan pada akad mudharabah, modal dikelola sang amil pada jenis usaha tertentu.
Misal: dijalankan pada usaha yang bergerak di bidang makanan, properti, atau yang lainnya.
Atau pada pasar tertentu, misal modal hanya dikelola di pasar Surabaya atau daerah lain secara khusus.
Atau pada pihak-pihak tertentu. Misal: sang amil hanya boleh melakukan jual beli dari saudagar A.
Masalahnya adalah, apakah diperbolehkan secara hukum syar’i?
Jawabnya adalah:
Mudharabah dibagi dua:
a) Mudharabah Muthlaqah (مُضَارَبَةٌ مُطْلَقَةٌ)
Yaitu mudharabah yang bersifat tak terbatas (unrestricted), sang pemilik dana memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudharib (pengelola) untuk memutar uangnya.
b) Mudharabah Muqayyadah (مَضَارَبَةٌ مُقَيَّدَةٌ)
Yaitu mudharabah yang bersifat terbatas (restricted) sebagaimana digambarkan di awal.
Ada khilaf di kalangan para fuqaha:
• Madzhab Malikiyah dan Syafi’i tidak membolehkannya, dengan alasan membatasi ruang gerak sang ‘amil, khususnya bila barang yang dipersyaratkan sulit ketersediaannya (di pasaran).
• Madzhab Hambali dan Hanafi membolehkannya karena tidak bertentangan dengan prinsip mudharabah. Juga tidak meniadakan keuntungan secara total walaupun mungkin menguranginya. Pendapat ini lebih mendekati (kebenaran), dirajihkan oleh Ibnu Qudamah t dalam Al-Mughni (6/491). Lihat Ar-Riba (2/1032-1036).
3. Tauqiitul Mudharabah (تَوْقِيتُ الْمُضَارَبَةِ)
Maksudnya adalah shahibul maal (pemodal) menentukan tempo tertentu dalam akad mudharabah, di mana sang ‘amil tidak lagi diperbolehkan mengelola modal setelah jatuh tempo dan mudharabah dianggap selesai.
Misal: Pemilik dana melakukan akad mudharabah dengan pengelola selama satu tahun atau satu bulan.
Jumhur ulama berpendapat, mudharabah tidak boleh ditentukan waktunya.
Namun pendapat yang rajih adalah diperbolehkan adanya akad mudharabah dengan tempo tertentu sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Alasannya adalah:
• Tidak mengandung unsur riba
• Tidak mengandung unsur gharar (pertaruhan)
• Tidak meniadakan konsekuensi akad
• Tidak meniadakan keuntungan usaha secara total walaupun mungkin terjadi kekurangan.
Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, satu riwayat dalam madzhab Hambali, dirajihkan Ibnu Qudamah t dalam Al-Mughni (6/492) dan Dr. Abdullah As-Sa’idi dalam Ar-Riba (2/1036-1045).
Alhasil, mudharabah dilihat dari sisi temponya dibagi menjadi dua:
• Mudharabah Mu’ajjalah (مُضَارَبَةٌ مُعَجَّلَةٌ)
Yaitu mudharabah dengan batasan tempo tertentu sesuai kesepakatan. Mudharabah ini selesai dengan jatuhnya tempo.
• Mudharabah Ghairu Mu’ajjalah (مُضَارَبَةٌ غَيْرُ مُعَجَّلَةٍ)
Yaitu mudharabah tanpa ada batasan tempo tertentu dan dianggap selesai (fasakh/ فَسَخٌ) dengan beberapa sebab:
– Kedua belah pihak atau salah satunya membubarkan akad mudharabah.
– Kematian salah satu atau keduanya.
– Keduanya atau salah satunya mengalami kegilaan (gangguan jiwa).
– Terjadi hajar (هَجَرٌ), penyitaan harta karena keduanya atau salah satunya diklaim sebagai safiih (سَفِيهٌ) yakni pihak yang tidak layak mengelola harta. (Al-Mughni 6/485)
4. Mudharabatul Mudharib (مَضَارَبَةُ الْمُضَارِبِ)
Maknanya adalah mudharib (amil) menyerahkan modal mudharabah dari shahibul maal kepada amil lain dengan akad mudharabah. Dengan kata lain, sang amil melakukan akad mudharabah dengan amil lain dengan modal shahibul maal.
Ringkasnya, pada masalah ini ada tiga pihak yang terkait: shahibul maal (pemodal), mudharib (amil bagi shahibul maal), dan amil lain/pihak ketiga (amil bagi mudharib). Modal yang dipakai adalah modal dari shahibul maal.
Masalah ini menjadi perbincangan panjang di kalangan fuqaha. Ringkasnya, pada masalah ini ada beberapa keadaan:
a. Akad dilakukan tanpa seizin shahibul mal.
Para fuqaha dari semua madzhab melarang praktik akad seperti ini.
Al-Imam Malik t menyatakan, “Sang amil tidak diperbolehkan melakukan akad qiradh (mudharabah) dengan pihak lain kecuali dengan perintah/instruksi shahibul maal.” (Al-Mudawwanah, 5/104)
Ibnu Qudamah t dalam Al-Mughni (6/461) menguraikan, “Tidak diperbolehkan bagi mudharib (amil) menyerahkan harta (modal) kepada pihak lain sebagai akad mudharabah….”
b. Akad dilakukan dengan seizin shahibul maal
Para fuqaha membagi izin ini menjadi dua:
1) Izin secara umum (إِذْنٌ عَامٌّ)
Seperti ucapan shahibul maal kepada amil: “Kelola modal ini sekehendakmu/menurut pandanganmu.”
Madzhab Hanafi dan madzhab Hambali menganggap sah perizinan secara umum ini, sehingga sang amil bisa melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.
Sebagian fuqaha mensyaratkan adanya izin khusus dari shahibul maal, dan pendapat ini yang lebih tepat, khususnya di zaman sekarang, dengan alasan:
– Lemahnya amanah dan agama keumuman orang.
– Kemudahan fasilitas masa kini, khususnya alat komunikasi, sehingga memudahkan bagi amil untuk meminta izin secara khusus kepada shahibul maal. (Lihat Ar-Riba 2/1062)
2) Izin secara khusus (إِذْنٌ خَاصٌّ)
Yaitu perizinan secara khusus dari shahibul maal kepada amil, seperti ucapan: “Silakan melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.”
Seluruh fuqaha menganggap izin khusus ini sebagai legalitas untuk pengesahan akad. Bila sang amil sudah mengantongi izin khusus dari shahibul maal, maka dia bisa melakukan akad mudharabah dengan pihak lain dengan modal yang ada. Masalahnya adalah, apakah sang amil (pengelola pertama) mendapatkan laba dari mudharabah dengan pihak lain tersebut?
Jawabnya adalah:
Kondisi sang amil pada akad ini tidak lepas dari dua keadaan:
a. Sang amil tidak terlibat dalam pengelolaan modal usaha
Madzhab Malikiyah (Maliki), Hanabilah (madzhab Hambali), dan Syafi’iyah (madzhab Syafi’i) menyatakan: Tidak ada laba bagi sang amil. Sebab laba mudharabah hanya tercapai dengan dua hal: modal dan amal (kerja). Keduanya tidak ada pada sang amil. Modal milik shahibul maal, sedangkan amal (kerja) dilakukan oleh pihak lain. Pendapat inilah yang shahih. (Al-Mughni, 6/463-464)
Posisi amil pada kondisi ini hanya sebagai wakil shahibul maal. Dia hanya mendapatkan upah wikalah (sebagai wakil) yang diberikan shahibul maal. Sementara laba dibagi antara shahibul maal dengan pihak ketiga.
Faedah
Sebagian pihak mungkin akan mengatakan: ”Fuqaha membolehkan sang amil membayar orang lain untuk mengelola modal usaha. Boleh juga mewakilkannya kepada orang lain. Lantas apa bedanya masalah ini dengan yang sebelumnya?”
Jawabnya adalah: Ada perbedaan penting yang harus diperhatikan:
– yang diperbolehkan fuqaha adalah hal tersebut masih dalam cakupan amalan mudharib (amil) di mana sang amil tidak terpisah dengan amalan mudharabah.
– adapun yang ditiadakan oleh fuqaha adalah ketika sang amil tidak terlibat dalam amal mudharabah sedikitpun, sebagaimana yang diuraikan di atas. (Ar-Riba 2/1068)
Faedah
Perbedaan antara laba dan upah ada dua:
• Laba tidak dapat dipastikan pada setiap kondisi. Terkadang banyak, mungkin sedikit, bahkan bisa jadi tak ada laba sedikitpun bila terjadi kerugian pada usaha mudharabah.
Sedangkan upah, sesuatu yang pasti apapun kondisinya. Tidak terkait dengan laba/untung-rugi sebuah usaha mudharabah.
• Laba pada usaha mudharabah hanya dicapai dengan modal atau kerja (amal), sementara upah tidak. (Ar-Riba, 2/1068-1069)
b. Sang amil ikut terlibat dalam pengelolaan usaha. Kondisi ini hanya disebutkan oleh Syafi’iyah, sementara yang lain menghukumi sama dengan kondisi sebelumnya.
Di kalangan Syafi’iyah sendiri ada ikhtilaf dan yang rajih menurut mereka adalah tidak dapat laba dan akad tersebut tidak diperbolehkan. Demikian tarjih An-Nawawi t dalam Ar-Raudhah (5/132). (Lihat Ar-Riba, 2/1053-1082)
5. Melakukan akad mudharabah dengan banyak pihak.
Masalah ini kaitannya dengan percampuran modal usaha dari banyak shahibul amal. Gambaran masalahnya adalah mudharib (amil) melakukan akad mudharabah dengan shahibul maal (pemodal) lalu dia melakukan akad yang sama dengan pemodal-pemodal lain. Apa hukumnya?
Pada prinsipnya, amil tidak boleh2 melakukan akad mudharabah lagi dengan pihak/pemodal lain. Namun para fuqaha membolehkannya dengan ketentuan:
a) Izin khusus dari pemodal awal dan keridhaannya.
Bila diizinkan maka diperbolehkan dengan kesepakatan ulama (Al-Mughni 6/465). Bila tidak diizinkan, maka syarat kedua harus terpenuhi, yaitu:
b) Tidak memadharatkan pemodal awal
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menyebutkan bahwa bentuk madharat yang menimpa pemodal awal adalah salah satu dari dua perkara:
• Sang amil sibuk dengan mudharabah kedua hingga melalaikan mudharabah pertama.
• Sang amil mengelola usaha mudharabah kedua yang sejenis dengan mudharabah pertama, yang berakibat penurunan harga.
Misal: Pada mudharabah pertama, amil membelanjakan modal dalam bentuk pakaian. Pada mudharabah kedua juga dibelanjakan dengan bentuk serupa. Akibatnya terlalu banyak barang serupa menumpuk di pasaran, harga pun jadi turun. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/270)
Terkadang, bentuk usaha yang dikelola berbeda, modal pertama dalam bentuk sembako, modal kedua dikelola dalam bidang otomotif. Pada prinsipnya diperbolehkan. Namun terkadang, sang amil tersibukkan dengan salah satunya, lalai dari yang lain. Inilah yang tidak diperbolehkan (Asy-Syarhul Mumti’ 4/270).
Ringkasnya, perlu ada izin khusus dari pemodal awal. “Bila tidak dizinkan namun tidak memadharatkan dia, maka diperbolehkan tanpa ada khilaf”, demikian uraian Ibnu Qudamah t dalam Al-Mughni (6/465).
Apabila dua syarat tersebut tidak terpenuhi, apakah sang amil boleh mencampur semua modal yang ada?
Pada prinsipnya, yang ditekankan adalah keadilan, transparan, kejujuran, serta tidak ada unsur riba dan gharar (pertaruhan).
Dua kemungkinan yang bisa ditampilkan di sini:
a. Pemisahan total harta-harta mudharabah dengan harta-harta yang lain.
Kelebihan teknik ini adalah bahwa pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat dihitung dengan akurat. Untung-rugi juga dapat dihitung dan dialokasikan dengan akurat.
Kelemahannya adalah menyangkut masalah moral hazard (penyimpangan moral) dan preferensi investasi si mudharib (amil). Akan timbul pertanyaan: “Ke portofolio (surat berharga yang menunjukkan bukti penanaman modal, red.) mana dana tersebut diinvestasikan?”
“Dalam portofolio mana account officer1 ditugaskan?”
“Bagaimana si mudharib (amil) menjelaskan jika rate of return (tingkat pengembalian/hasil dari suatu investasi, red.) dari dana pemegang saham ternyata lebih besar dibandingkan dengan rate of return dana mudharabah?”
Saya (penulis) punya usulan sederhana tapi tepat: “Masing-masing modal dari shahibul maal dikelola secara tersendiri, sesuai kesepakatan masing-masing pemodal terkait dengan persentase bagi hasil dan yang lainnya. Lalu masing-masing usaha dilakukan pembukuan (akunting) secara tersendiri.”
Dengan cara di atas akan tegak prinsip keadilan, transparan, tidak ada gharar dan riba, sangat menguntungkan pihak amil sebab dia mendapatkan laba di masing-masing pemodal.
Kelemahannya terletak pada pengelolaan usaha dan pembukuan. Amil akan memikirkan seabrek usaha, pikirannya akan bercabang, dan dibutuhkan perhatian serta keseriusan ekstra. Namun itu bisa diperingan dengan dua cara:
– Menunjuk wakil untuk masing-masing usaha yang dikelola
– Menggaji para pegawai untuk meringankan perkerjaannya.
b. Percampuran seluruh modal2
Dengan cara ini, amil menyatukan seluruh modal untuk sebuah usaha. Masing-masing modal dari shahibul maal menjadi semacam saham sesuai dengan persentase besar kecilnya modal, dan laba masing-masing dihitung sesuai dengan sahamnya.
Teknik ini cukup sederhana, dapat menghilangkan munculnya masalah etika dan moral hazard seperti di atas, tapi menimbulkan kesulitan dalam hal akunting.
Yang ditekankan pada teknik ini adalah ketelitian, kejujuran, transparansi, dan laporan pertanggungjawaban kepada para pemodal. (Lihat Bank Syari’ah hal. 139)
Faedah
Bila ketentuan di atas tidak terpenuhi namun sang amil tetap meneruskan akadnya maka semua laba adalah milik pemodal, sedangkan amil hanya mendapatkan upah seorang pegawai.
Kaidahnya, kata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t: “Apabila akad mudharabah tidak sah, maka seluruh laba adalah milik pemilik modal dan amil mendapatkan upah sebagai pegawai.” (Asy-Syarhul Mumti’, 4/270)
6. Amil diharuskan mengerjakan segala sesuatu yang bisa dilakukan seorang amil dan dia tidak mendapatkan upah/laba khusus untuk itu.
Adapun pekerjaan di luar kebiasaan maka dia bisa menggaji pegawai yang diambilkan dari modal (termasuk biaya operasional usaha). (Al-Mughni 6/470)
7. Apabila amil melakukan tindakan kecerobohan yang membuat hilang/rusaknya aset, maka dia harus memberi ganti rugi.
Begitu pula bila dia melakukan aktivitas yang tidak boleh dia lakukan atau membeli sesuatu yang dilarang untuk dibeli, maka dia harus membayar ganti rugi.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diriwayatkan dari Abu Hurairah, Hakim bin Hizam, Abu Qilabah, Nafi’, Iyas, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Al-Hakam, Hammad, Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan ashabur ra’yi (Al-Mughni 6/468).
8. Amil tidak boleh membeli barang dengan harga yang melebihi modal usaha.
Bila dia lakukan maka ada dua kemungkinan:
a. Dia beli dengan niat yang lebih menjadi tanggungannya. Maka jual belinya sah dan kelebihan barang menjadi miliknya, tidak termasuk dalam akad mudharabah.
b. Tidak berniat untuk menanggungnya, maka jual belinya tidak sah. (Al-Mughni 6/459)
Laba (الرِبْحُ)
Terkait dengan laba juga ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan:
1. Laba mudharabah sesuai dengan kesepakatan pemodal dan mudharib (amil).
Al-Imam Ibnul Mundzir t dalam kitab Al-Ijma’ (hal. 111) menyatakan: “Para ulama sepakat, sang amil diperbolehkan menentukan persyaratan laba, baik itu 1/3, ½, atau sesuai kesepakatan kedua belah pihak….” (Al-Mughni 6/437)
Laba yang dipersyaratkan sesuai kesepakatan tidak mesti 50:50 (fifty:fifty). Bisa jadi shahibul maal lebih banyak atau lebih sedikit. Begitu pula laba mudharib.
2. Laba mudharib harus dipastikan dengan jelas dan diketahui persentasenya (الرِبْحُ مَعْلُومٌ)
Ini termasuk syarat sah akad mudharabah. Bila pemodal menyerahkan modal usaha tanpa menyebutkan persentase laba mudharib, maka akad tersebut tidak sah. Untung-rugi ditanggung penuh pemodal dan amil hanya mendapatkan upah sebagai karyawan. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, dan Ashhabur Ra’yi. Pendapat inilah yang rajih. (Takmilah Al-Majmu’ 15/113 dan Al-Mughni 6/440-441)
3. Laba mudharabah dipersyaratkan dalam bentuk persentase: 25%, 50%, 60%, atau 1/3, ¼, 2/3, dan seterusnya.
Ibnul Mundzir t menjelaskan: “Seluruh ahli ilmi yang kami kenal bersepakat, akad qiradh (mudharabah) dinyatakan batal bila salah satunya atau keduanya mempersyaratkan (laba) untuk dirinya dalam bentuk nominal uang tertentu. Di antara ulama yang kami hafal (nama-nama)nya adalah Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan Ashhabur Ra’yi….”
Ini juga madzhab Al-Imam Ahmad t, disebutkan Ibnu Qudamah t dalam Al-Mughni (6/448).
Penentuan laba dalam bentuk nominal terlarang karena alasan-alasan di bawah ini:
a. Ada unsur pertaruhan (judi)
Sebab, bisa jadi usaha tersebut menghasilkan laba sedikit hanya cukup untuk jatah amil. Atau bahkan mengalami kerugian sehingga modal usaha pun terambil untuk jatah laba mudharib. Bahkan bisa terjadi kerugian total, pemodal pun harus merogoh kocek lagi untuk memberikan jatah laba mudharib.
Pada semua kondisi di atas, yang dirugikan adalah pemodal. Mungkin pula yang terjadi sebaliknya, usaha yang dikelola mendapatkan laba melimpah ruah, sang mudharib (amil) hanya mendapatkan nominal yang dipersyaratkan.
Kondisi di atas meniadakan sikap keadilan, dan yang diuntungkan adalah pemodal.
b. Menimbulkan ketimpangan dalam mengelola usaha mudharabah.1
4. Laba dibagi setelah modal kembali.
Maka sang mudharib (amil) tidak bisa mengambil laba sebelum modal dikembalikan.Tidak ada khilaf di kalangan ulama dalam masalah ini. Ibnu Qudamah t menguraikan dengan jelas masalah ini dalam Al-Mughni (6/472):
“Mudharib tidak berhak mengambil sedikit pun laba (mudharabah) hingga dia menyerahkan modal kepada shahibul maal (pemodal). Bilamana pada modal usaha ada kerugian dan keuntungan, maka keuntungan yang ada dipakai untuk menutup kerugian. Baik untung-rugi tersebut pada sekali usaha, atau kerugian terjadi pada salah satu akad jual beli sedangkan akad lain ada keuntungan. Ataupun salah satunya terjadi pada serangkaian usaha, sedangkan yang lain terjadi pada safari usaha berikutnya.
Sebab pengertian “laba” adalah sesuatu yang lebih dari modal usaha. Bila tidak ada kelebihan maka tidak ada laba. Kami tidak mengetahui adanya khilaf (ulama) dalam masalah ini….”
Faedah
Ibnu Qudamah t juga menyatakan: “Apabila pada usaha mudharabah tampak keuntungannya, maka sang mudharib tidak boleh mengambil sedikit pun laba tersebut tanpa seizin pemodal. Kami tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan ulama dalam masalah ini….” (Al-Mughni 6/484)
Bila sang mudharib atau pemodal menuntut pembagian laba yang tampak sebelum modal kembali, maka ada dua kemungkinan:
a. Salah satunya menolak pembagian laba
Dalam kondisi demikian yang didahulukan adalah ucapan pihak yang menolak, sehingga laba tidak boleh dibagi.
b. Keduanya sama-sama ridha
Dalam kondisi seperti ini, pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang dinukil Ibnul Mundzir t, sang mudharib tidak boleh mengambil laba hingga modal kembali (Al-Mughni 6/484-485).
5. Kaidah dalam masalah mudharabah:
الْوَضِيعَةُ فِي الْمُضَارَبَةِ عَلَى الْمَالِ خَاصَّةً لَيْسَ عَلَى الْعَامِلِ مِنْهَا شَيْءٌ
“Kerugian pada akad mudharabah ditanggung harta (modal), sang amil tidak menanggung kerugian sedikit pun.” (Al-Mughni 6/447)
Maksudnya, bila pada usaha mudharabah terjadi kerugian, pada prinsipnya yang menanggung adalah pemilik modal, bukan mudharib (amil). Kerugian sang amil adalah dia tidak mendapatkan apapun dari usaha mudharabah.
Lebih jelasnya, usaha mudharabah mengalami beberapa kemungkinan:
a. Mendapatkan laba
Maka laba itulah yang dibagi sesuai persentase jatah yang disepakati setelah modal kembali.
b. Tidak untung tidak rugi (kembali modal)
Maka pemodal mendapatkan kembali modalnya sedangkan amil tidak mendapatkan apa-apa.
c. Terjadi kerugian
Ada dua kemungkinan lagi untuk kondisi ini:
1) Rugi dan modal masih sisa
Maka kerugian ditanggung modal, shahibul maal hanya mendapatkan sisa modal yang ada. Sementara amil tidak mendapatkan apa-apa.
2) Rugi total
Kerugian ditanggung modal, shahibul maal kehilangan modalnya, amil tidak mendapatkan apa-apa.
Bila usaha mudharabah mengalami kerugian, maka pemodal tidak bisa menuntut amil ganti rugi kecuali pada satu keadaan, yaitu bila kerugian terjadi murni akibat keteledoran/kecerobohan/tindak sewenang-wenang sang amil.2
Faedah penting
Ibnu Qudamah t menegaskan: “Bilamana shahibul maal mempersyaratkan ganti rugi atas amil atau ikut andil dengan saham saat kerugian, maka persyaratan tersebut batal. Kami tidak mengetahui adanya khilaf…” (Al-Mughni 6/490. Lihat Fatawa Al-Lajnah 14/335)
Jika terjadi akad mudharabah dengan syarat di atas maka termasuk akad pinjam meminjam/utang-piutang yang ada unsur kemanfaatan (bunga). Inilah riba.
Kaidah yang disepakati ulama:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap akad pinjam-meminjam yang ada unsur manfaat (bunga) maka dia adalah riba.”
Akad di atas bukan قِرَاضٌ (mudharabah) lagi tapi قَرْضٌ (pinjaman). (Lihat Fatawa Al-Lajnah, 14/340)
الْعَاقِدَانِ
(Kedua belah pihak yang melakukan kontrak mudharabah)
Yang dimaksud adalah pemodal (shahibul maal) dan mudharib (amil). Ketentuannya sebagai berikut:
1. Pemodal dan amil adalah pihak yang diizinkan transaksinya secara syar’i yaitu aqil (berakal) dan baligh.
Mudharabah adalah sebuah akad kerjasama dua pihak untuk menjalankan usaha. Maka dipersyaratkan padanya apa yang dipersyaratkan pada jual beli.
Masalah ini sudah penulis singgung dalam majalah Asy Syariah Vol. III/No. 25/1427 H/2006 hal. 16 rubrik Kajian Utama.
2. Diperbolehkan melakukan akad mudharabah dengan orang kafir. Ini adalah pendapat Ahmad, Al-Hasan Al-Bashri, dan Al-Auza’i rahimahumullah. Pendapat inilah yang rajih, dikuatkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t dalam Al-Mughni (6/400).
Dalilnya adalah keumuman firman Allah :
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Juga tindakan Rasulullah yang melakukan muamalah duniawi dengan Yahudi. Lihat Shahih Bukhari (no. 2068).
Namun dengan ketentuan, tidak boleh melakukan transaksi atau jual beli barang haram sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Bila si kafir melakukan hal di atas, maka dia wajib memberi ganti rugi modal yang dipakai untuk itu.
Di antara cara untuk mengantisipasi masalah ini adalah yang mengelola usaha adalah amil muslim, atau amil kafir dengan pengawasan ketat. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 14/286-288)
3.  Diperbolehkan bagi wali anak kecil atau orang gila untuk mengembangkan harta mereka pada akad mudharabah, baik itu ayahnya, kakeknya, mushiy (yang diberi wasiat), hakim (pemerintah), atau orang yang dipercaya hakim. (Takmilah Al-Majmu’, 15/111)
Ijab Qabul (الصِيْغَةُ)

Lafadz ijab qabul bisa menggunakan kalimat قِرَاضٌ, مُضَارَبَةٌ, atau مُعَامَلَةٌ.
Akad mudharabah bisa diresmikan dengan ijab qabul menggunakan kalimat apapun, dengan bahasa apapun yang dipahami sebagai mudharabah.
Akad dianggap sah dengan menggunakan lafadz ijab qabul atau cara lain yang dipahami sebagai mudharabah. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
1. Akad mudharabah dianggap batal dengan kematian salah satunya atau kegilaan yang menimpa salah satunya, baik itu sesudah berjalannya usaha atau sebelumnya. Namun bila ahli waris mereka hendak melanjutkan akad tersebut, maka diperbolehkan (Al-Mughni 6/488, 485).
2. Akad mudharabah dianggap batal bila modal usaha hilang/hancur sebelum usaha dijalankan. Bila ingin melanjutkan akad, maka harus didatangkan modal baru (Al-Mughni, 6/490).
Demikian sedikit ulasan tentang hukum-hukum dan ketentuan mudharabah dalam Islam. Sesungguhnya masih banyak lagi masalah yang perlu diangkat namun dicukupkan uraian di atas karena keterbatasan lembar majalah. Wallahu a’lam.

1 Dzimmi adalah orang kafir yang hidup bersama kaum muslimin di wilayah Islam.
2 Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin t menegaskan bahwa hukumnya adalah haram. (Asy-Syarhul Mumti’ 4/272)
1 Account Officer (AO) adalah pejabat bank yang bertugas sejak mencari nasabah yang layak sesuai kriteria peraturan bank, menilai, mengevaluasi, mengusulkan besarnya kredit yang diberikan. Pada praktiknya, ia menjadi konsultan investasi.
2 Teknis inilah yang dipakai di bank-bank syariah di Indonesia.
1 Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah 14/319, Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz 19/324.
Faedah:
Adapun nominal yang dipastikan dari laba, tidaklah diperbolehkan sebab termasuk riba. Karena termasuk qiradh (pinjaman) yang dipersyaratkan adanya sebuah kemanfaatan. (Fatawa Al-Lajnah 14/288)
Begitu pula tidak boleh disepakati adanya laba tertentu sekian persen tiap bulannya, sebab mudharabah mengandung kemungkinan untung dan rugi. (Al-Lajnah Ad-Da’imah, 14/360)
2 Lihat Fatawa Al-Lajnah (14/308 dan 334)




Karakteristik Bank Syariah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)

Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah mudharabah. Berdasarkan prinsip ini pihak bank akan berfungsi sebagai:
1. Mudharib (pengelola)
Bank bertindak sebagai mitra, dengan penabung sebagai shahibul maal (pemodal). Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak.
2. Shahibul maal (pemodal/investor)
Bagi pengusaha/peminjam dana, bank berfungsi sebagai pemodal, baik yang berasal dari tabungan/deposito/giro maupun dana bank sendiri berupa modal pemegang saham. Sementara sang pengusaha/peminjam berfungsi sebagai mudharib (pengelola) karena melakukan usaha dengan cara memutar atau mengelola dana bank.

Pada lembaran majalah yang terbatas ini, penulis akan mengupas masalah terpenting yang ada di bank-bank syariah mengingat terlalu banyak praktik transaksi dan sistem yang ada pada tubuh bank. Setidaknya ada pencerahan wawasan tentang bank syariah, apakah syar’i sesuai komitmen mereka, ataukah hanya “numpang nama” padahal hakikatnya sama dengan bank konvensional atau bahkan lebih ‘kejam’?
Ada satu hal yang akan dibahas yaitu masalah mudharabah. Berikut ini rincian hukum syar’inya dan penerapan bank syariah di lapangan.

Mudharabah
Dalam perspektif ilmu fiqh Islami, mudharabah merupakan salah satu bagian dari pembahasan masalah yang lebih luas yaitu syirkah. Syirkah sendiri bermakna berserikat (kongsi) dalam sebuah hak atau aktivitas (Al-Mughni, 6/399).
Syirkah secara global diperbolehkan secara syar’i dengan dasar Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama. Walaupun ada beberapa permasalahan yang masih ada khilaf di kalangan fuqaha. Secara syar’i, syirkah terbagi menjadi dua:
1. Syirkah milkiyah (kepemilikan)1 (شِرْكَةُ الْأَمْلَاكِ)
Syirkah ini tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi tertentu yang mengharuskan adanya kepemilikan suatu aset oleh dua orang atau lebih seperti kongsi pada sebuah pabrik, kendaraan, dan lain-lain.
Dalam syirkah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata atau keuntungan yang dihasilkan aset tersebut, diatur dalam syariat pada hukum waris, wasiat, dan syirkah.
2. Syirkah ‘uqud (akad) (شِرْكَةُ الْعُقُودِ)
Syirkah inilah yang diulas para fuqaha dalam Kitab Syirkah di kitab-kitab mereka.
Syirkah ini ada lima macam:
a. Syirkah Abdan (شِرْكَةُ الْأَبْدَانِ)
Maknanya adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan tersebut.
Misal: Kerjasama dua orang tukang untuk menggarap proyek pembangunan sebuah rumah, dua orang arsitek kerjasama menggarap sebuah proyek, atau dua orang penjahit kerjasama menerima order pembuatan baju, atau yang semisal itu. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan bersama.
Syirkah ini juga disebut dengan شِرْكَةُ الْأَعْمَالِ atau شِرْكَةُ الصِّنَاعِي
b. Syirkah ‘Anan (شِرْكَةُ الْعَنَانِ)
Yaitu kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, masing-masing pihak berpartisipasi dalam dana dan kerja. Masing-masing berbagi keuntungan dan kerugian sesuai kesepakatan bersama dengan memerhatikan persentase porsi dana masing-masing.
c. Syirkah Wujuh (شِرْكَةُ الْوُجُوهِ)
Maksudnya adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik hingga dipercaya oleh perusahaan/pedagang.
Mereka membeli produk dari perusahaan /pedagang tanpa modal dengan tempo tertentu lalu menjualnya. Keuntungan dan kerugian ditanggung mereka bersama sesuai kesepakatan. Syirkah ini juga dikenal dengan istilah syirkah piutang.
d. Syirkah Mufawadhah (شِرْكَةُ الْمُفَاوَضَةِ)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t dalam kitab Al-Mughni (6/436) membagi syirkah ini menjadi dua macam:
• Melakukan kontrak kerjasama pada semua jenis syirkah yang ada. Misal: Kombinasi antara syirkah ‘anan, wujuh, dan abdan dalam sebuah kontrak kerjasama.
• Kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih dengan ketentuan adanya kesamaan pada dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang, dan lain sebagainya. Bahkan memasukkan aset masing-masing pihak ke dalam akad syirkah, seperti harta waris, luqathah (harta temuan), rikaz (harta karun), dan semisalnya.
e. Syirkah Mudharabah2 (شِرْكَةُ الْمُضَارَبَةِ)
Jenis inilah yang menjadi pembahasan kita. Secara bahasa مُضَارَبَةٌ diambil dari kata ضَرَبَ فِي الْأَرْضِ yang artinya berjalan di muka bumi untuk menjalankan usaha. Allahfberfirman:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Al-Muzzammil: 20)
Mudharabah adalah istilah yang digunakan oleh orang Irak, sementara orang Hijaz menamainya qiradh (قِرَاضٌ).

Secara syar’i, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, shahibul maal (pemilik harta/pemodal) menyediakan seluruh modal dan pihak kedua sebagai pengelola (mudharib). Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Demikian juga dengan kerugian, ditanggung pula oleh kedua pihak di mana shahibul maal berkurang modalnya sedangkan pengelola tidak mendapatkan apapun dari usaha tersebut.
Dalam Al-Mughni (6/431), Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t menyatakan: “Para ulama telah ijma’ (sepakat) tentang kebolehan mudharabah secara global. Demikian disebutkan oleh Ibnul Mundzir t.”
Umat manusia juga membutuhkan mudharabah karena harta benda tidak mungkin berkembang kecuali dengan adanya usaha. Sementara itu, tidak setiap orang yang mempunyai harta (modal) juga punya skill (keahlian) dan reputasi yang baik dalam berusaha. Begitu pula, tidak setiap orang yang punya keahlian berusaha selalu punya modal usaha. Maka Allahfmenghalalkan mudharabah untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Wallahu a’lam.

1 Definisinya adalah kongsi pada kepemilikan sebuah aset (اجْتِمَاعٌ فِي اسْتِحْقَاقٍ) (Asy-Syarhul Mumti’, 4/250)
2 Sebagian ulama tidak memasukkan mudharabah dalam bagian syirkah namun membahasnya secara tersendiri.


Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)

Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank
2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam

Berikut ini uraian sekaligus tinjauan syar’i terhadap aplikasi tersebut:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank.
Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah:
a. tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya.
Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya.
Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan dana.
Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.
b. Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo.
Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya.
c. Deposito khusus (special investment)
Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.

Tinjauan hukum syar’i
Secara hukum syar’i, akad yang tertuang dalam formulir yang disediakan pihak bank cukup transparan dan lahiriahnya tidak ada masalah.
Adapun perbedaan sistem deposito/tabungan antara bank syariah dan bank konvensional adalah:
a) Pada akad
Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syari’ah. Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun.
b) Pada imbalan yang diberikan:
Bank syariah menerapkan prinsip mudharabah, sehingga bagi hasil tergantung pada:
• Pendapatan bank (hasil/laba usaha)
• Nominal deposito nasabah
• Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank
• Jangka waktu deposito
Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba pada bank konvensional.
c) Pada sasaran pembiayaan
Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti pada akad mudharabah antara penabung dan bank syariah, di antaranya adalah:
a. Bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut
Di sini muncul pertanyaan besar: Siapa yang menanggung kerugian dana simpanan para nasabah?
Jawabannya adalah sebagai berikut:
Semua bank, baik konvensional maupun syariah1 harus terikat dan dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah kepada lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya. Bila terjadi kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua dana simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah No. 66 Th. 2008, red.).

Hakikat akad dengan kondisi di atas
Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad mudharabah tetapi akad pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi.
Kesimpulannya, akad antara penabung dan bank syariah adalah riba/terlarang dengan alasan:
1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil yang dicapai.
Hakikatnya adalah penabung memberi pinjaman kepada pihak bank dengan syarat bunga dari persentase bagi hasil. Inilah hakikat dari riba jahiliah yang dikecam dalam Islam. Lihat makalah penulis di Kajian Utama Macam-macam Riba pada majalah Asy Syariah No. 28/III1428 H/2007 hal. 18.
2) Kerugian ditanggung mudharib (bank)
Ini menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada usaha mudharabah murni ditanggung modal bukan amil/mudharib.
3) Pihak bank terjatuh pada asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam. Lihat makalah penulis tentang asuransi di Kajian Utama majalah Asy Syariah Vol. III/29/1428 H/2007 yang berjudul Asuransi hal. 20-24.
b. Pembiayaan yang dilakukan pihak bank kepada nasabah peminjam
Di sini muncul pertanyaan:
– Apakah pembiayaan tersebut pada akad-akad yang syar’i?
– Fungsi bank dengan pihak peminjam sebagai apa? Shahibul maal ataukah wakil nasabah penabung?
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas diulas pada poin kedua, yaitu:

2. Akad mudharabah antara bank dan nasabah peminjam
Pada umumnya banyak bank syariah yang tidak mengalokasikan dana pembiayaan ke produk mudharabah dikarenakan risiko yang cukup tinggi, di antaranya:
a. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu tidak seperti yang disebut dalam akad
b. Lalai dan kesalahan nasabah yang disengaja
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila dia tidak jujur.
Bank syariah lebih banyak mengalokasikan pembiayaan2 ke produk murabahah.
Pihak bank akan mengadakan akad dengan skema mudharabah dengan masalah melalui proses yang cukup ketat, di antaranya:
a. Melihat reputasi nasabah dalam dunia usaha
b. Melakukan pembiayaan pada usaha-usaha yang dapat diprediksi pendapatannya seperti:
– mudharabah dengan koperasi yang melakukan akad murabahah untuk memenuhi kebutuhan karyawannya.
– mudharabah dengan pihak yang bergerak di bidang rental officer.
c. Untuk usaha-usaha yang kurang bisa diprediksi pendapatannya, seringkalinya dialihkan ke akad murabahah. Pada akad mudharabah ini pihak bank bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan nasabah sebagai mudharib (amil)
Saat akad, nasabah dan bank melakukan kesepakatan tentang :
• Biaya yang dikeluarkan
• Nisbah (persentase) bagi hasil
Nisbah ini bisa berubah-ubah, misal: 3 bulan pertama 60:40, tiga bulan kedua 50:50.
• Tenggang waktu mudharabah
– pihak nasabah memberikan dokumen tentang reputasi dia, pendapatan usahanya, dan lain-lain yang dibutuhkan pihak bank
– setiap tiga bulan, pihak nasabah membayar kepada bank keuntungan usaha dengan membuat laporan realisasi pendapatan (LRD)
– Pada umumnya pihak bank tidak terlibat dalam usaha nasabah, pihak bank hanya terlibat dalam pembiayaan
– Akad mudharabah ini disertai adanya jaminan dari pihak nasabah.

Tinjauan hukum syar’i
Secara umum akad mudharabah yang terpapar di atas tidak ada masalah sebab akadnya adalah mudharabah dan keuntungan diambil dari laba usaha menggunakan nisbah (persentase). Sedangkan pada bank konvensional menggunakan akad qiradh (pinjaman) dengan syarat bunga yang ditetapkan. Ini jelas riba jahiliah yang dikecam dalam Islam.
Namun, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab:
a. Dari mana bank memperoleh modal pembiayaan sehingga disebut sebagai shahibul maal.
Jawabnya adalah sumber dana bank berasal dari:
– modal pemegang saham
– titipan (tabungan) dengan sistem wadi’ah yad dhamanah3
– investasi (tabungan) dari nasabah dengan sistem mudharabah.
Intinya, bank menghimpun dana dari nasabah-nasabah penabung selaku shahibul maal yang sesungguhnya. Jadi pada hakikatnya, pihak bank tidak memiliki modal hingga layak disebut pemilik modal (shahibul maal).
Kesimpulannya, bank hanyalah sebagai perantara/wakil para nasabah penabung untuk melakukan akad mudharabah dan yang lainnya dengan nasabah peminjam. Inilah yang disebut dengan istilah mudharabatul mudharib (مُضَارَبَةُ الْـمُضَارِبِ).
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, sistem ini diperbolehkan jika ada izin khusus dari nasabah penabung (shahibul maal) dan mudharib (bank) tidak mendapatkan laba mudharabah tapi hanya dapat ujratul wakalah (upah sebagai wakil) baik terlibat langsung dalam usaha atau tidak.
Alhasil, akad mudharabah ini terlarang dengan alasan berikut:
1. Tidak ada izin khusus dari para nasabah penabung pada umumnya.
2. Kenyataan yang terjadi, pihak bank mengambil keuntungan bukan upah wakalah. Walau pada praktiknya bank menggabungkan dana modal dalam satu pool dan hasil usaha digabung dari beragam akad dengan nasabah, baik itu murabahah, mudharabah, musyarakah, maupun ijarah.
b. Bila terjadi kerugian pada usaha nasabah di luar prediksi semua pihak, apakah modal/pembiayaan dari pihak bank harus dikembalikan?
Jawabannya adalah:
Secara prinsip mudharabah yang syar’i, kerugian yang terjadi selama bukan karena kelalaian dan kecerobohan amil murni ditanggung modal, dalam hal ini adalah bank. Amil tidak dibebani apapun kecuali dia rugi tidak dapat laba dari usaha tersebut.
Praktik yang terjadi di dunia bank syariah cukup beragam. Perlu diketahui, bahwa semua bank mempersyaratkan pada akad mudharabah, semua aset nasabah yang digunakan untuk usaha harus diasuransikan terlebih dahulu. Ini sebagai upaya pengamanan bilamana terjadi sesuatu di luar prediksi semua pihak.
1. Sebagian bank syariah langsung melakukan penyitaan aset nasabah yang mengalami kebangkrutan atau menuntut pengembalian modal mudharabah.
Tindakan ini sangat jelas menunjukkan bahwa kerugian ditanggung amil. Ini jelas menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, hakikat akad sesungguhnya bukan qiradh (mudharabah) tapi qardh (pinjaman) yang harus ada pengembalian pinjaman apapun yang terjadi pada pihak peminjam.
Kesimpulannya, akad mudharabah di atas termasuk dalam kaidah: “Setiap pinjaman yang ada unsur kemanfaatan adalah riba.”
Riba jahiliah yang sangat dikecam dalam Islam, kemanfaatan yang diperoleh pihak bank adalah laba usaha nasabah dengan nisbah bagi hasil. Wallahul musta’an.
2. Sebagian bank syariah tidak berani melakukan penyitaan secara langsung karena paham tentang konsekuensi akad mudharabah yaitu kerugian ditanggung bank. Mereka pun melakukan upaya lain yaitu kompromi (islah) dengan pihak nasabah. Misal: Meminta nasabah menjual aset yang ada.
Ujung-ujungnya sama dan itulah letak permasalahannya yaitu modal mudharabah kembali, kerugian ditanggung amil (nasabah).
Hukumnya pun sama dengan yang sebelumnya hanya beda teknis saja, yang satu main kasar, yang lain main halus. Kaidah para ulama:
الْعِبْرَةُ بِالْحَقَائِقِ لَا بِالْأَلْفَاظِ
“Yang dianggap adalah hakikatnya bukan bahasa (istilah)nya.”

Faedah
Bila usaha nasabah berikut asetnya terkena musibah (peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan/extraordinary, red.), seperti kebakaran yang menghanguskan, maka yang dilakukan oleh pihak bank adalah mengurus klaim dari perusahaan asuransi. Apabila klaim cair maka langsung masuk ke pihak bank untuk mengembalikan modal mudharabah, bila ada lebihnya baru masuk ke nasabah.
Upaya ini pun juga menunjukkan hasil yang sama yaitu modal harus kembali, kerugian ditanggung nasabah. Hukumnya juga sama dengan yang sebelumnya.

Catatan
Pihak bank biasanya memiliki alasan kenapa harus melakukan upaya-upaya di atas. Alasan mereka adalah: Pada saat pihak bank mengeluarkan pembiayaan untuk modal mudharabah dengan nasabah, pihak bank diharuskan untuk mempersiapkan “dana talangan”. Besar kecilnya dana tersebut tergantung kelancaran usaha nasabah.
– bila lancar maka dana talangannya 1 % dari pembiayaan
– bila tidak lancar maka dana talangan semakin diperbesar menjadi 5 %, 15 %, dan seterusnya.
– bila sampai sembilan bulan nasabah tidak membayarkan bagi hasil usaha maka dana talangannya menjadi 100 %.
Ini adalah ketentuan resmi dari Bank Indonesia (BI) untuk semua bank. Tujuannya supaya usaha nasabah yang tidak lancar tersebut bisa dihapuskan dan untuk kelancaran bank itu sendiri.
Jawabannya adalah:
1. Ketentuan di atas murni antara pihak bank dengan bank sentral (BI), tidak ada sangkut pautnya dengan nasabah.
2. Ketentuan akad mudharabah murni antara pihak nasabah dengan bank, tidak ada sangkut pautnya dengan BI.
3. Tindakan pihak bank membebankan dana talangan pada nasabah pada skema akad mudharabah, di luar dan menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i.
4.  Penjualan aset nasabah atau pengambilan klaim dari perusahaan asuransi sebagai ganti dana talangan yang disediakan termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil. Allahf berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (An-Nisa’: 29)


Kesimpulan
Setelah uraian panjang di atas dapat disimpulkan bahwa AKAD MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH ADALAH RIBA DAN BERTENTANGAN DENGAN MUDHARABAH YANG SYAR’I.
Tidak ada bedanya bank syariah dengan bank konvensional, bahkan bank syariah bisa dikatakan lebih kejam dengan alasan:
1. Mengatasnamakan dirinya dengan syariah
2. Bunga yang didapatkan dari nasabah jauh lebih besar daripada yang didapat bank konvensional.
3. Bunga yang dia berikan kepada nasabah juga lebih besar daripada yang diberikan bank konvensional.
Untuk itu, diimbau kepada semua pihak terkait baik pemerintah (Depag/MUI), para bankir, dan lain-lain supaya lebih dalam mempelajari kembali semua sistem yang ada di perbankan syariah dengan bimbingan Islam yang benar: Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para ulama, agar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada akad-akad bank syariah dapat ditiadakan dan dicarikan solusi syar’i terbaik sebagai gantinya.
Wallahul muwaffiq lish-shawab.


Maraji’
1. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Cet. I Darul Hadits Kairo-Mesir tahun 1416 H/1996 M.
2. Takmilah Al-Majmu’ Al-Muthi’I, cet. I Daar Ihyaut Turats Al-’Arabi, Beirut-Lebanon tahun 1422 H/2001 M.
3. Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, cet. Daarul Atsar Kairo-Mesir, tanpa tahun.
4. Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrafiyah Al-Mu’ashirah, Dr. Abdullah bin Muhammad As-Sa’idi, Cet. I Daar Thayyibah KSA tahun 1420 H/1999 M.
5. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik, Muhammad Syafi’i Antonio Cet. 9, Gema Insani bekerjasama dengan Tazkia Cendekia, Rabi’ul Awwal 1426 H/April 2005 M.
6. Diskusi langsung dengan sejumlah karyawan aktif dari sejumlah bank syariah.
7. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, cet. IV, Ulin Nuha lil Intaj Al-I’lami, 1424 H/ 2003 M
8. Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz cet. II Dar Ishda’ Al-Mujtama’, tahun 1428 H





Nasihat untuk para Pegawai Bank

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)

Setelah uraian panjang tentang masalah mudharabah dan aplikasinya dalam dunia perbankan syariah, serta sampai pada kesimpulan bahwa sistem mudharabah yang dipraktikkan di bank-bank syariah adalah riba, maka saya aturkan tulisan berikut kepada para pegawai dan karyawan bank, sebagai nasihat dan peringatan. Semoga diberi kemanfaatan oleh Allahfdi dunia dan di akhirat.

Hukum Bekerja di Bank (Syariah)
Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz t: “… Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti itu (yang melakukan transaksi riba, pen.). Sebab bekerja di sana termasuk ta’awun (tolong-menolong) di atas dosa dan permusuhan. Allahfberfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma’idah: 2)
Disebutkan dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah c dari Nabi bahwa beliau melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan orang lain dengan harta riba, penulis, dan kedua saksinya. Beliau menyatakan:
“(Dosa) mereka sama.”
Adapun gaji yang telah anda terima, maka halal bagi anda bila sebelumnya anda jahil (tidak tahu) tentang hukum syar’inya, dengan dasar firman Allahf:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)
Sementara bila anda tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan, maka seyogianya gaji yang anda terima disalurkan kepada proyek-proyek kebajikan dan menyantuni para fuqara disertai dengan taubat kepada Allah . Barangsiapa bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha, maka Allah  l akan menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Sebagaimana firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)
Allah juga berfirman:
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai kaum mukminin, agar kalian beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Kitab Ad-Da’wah, 2/195-196, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ hal. 128-130]
Fatwa serupa juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t sebagaimana dalam Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin (2/703). Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 128).
Juga Al-Lajnah Ad-Da’imah (13/344-345) yang diketuai oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, anggota: Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.
Juga penjelasan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t dalam kitabnya Qam’ul Mu’anid (2/278).
Fatwa mereka berlaku umum bagi siapa saja yang bekerja di bank-bank ribawi, walaupun hanya sebagai sopir atau sekuriti (petugas keamanan). Juga berlaku pada semua lembaga ribawi selain bank. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 133).
Bahkan hukumnya pun berlaku bagi pihak yang tidak punya pilihan pekerjaan kecuali di bank ribawi, atau pihak yang kondisi ekonominya pailit dan hanya ada lowongan pekerjaan di bank ribawi, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 132-133).
Ancaman keras bagi pihak yang terlibat praktik riba
1. Allah berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)
2. Allah juga menegaskan:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
3. Pihak yang terlibat dalam praktik ribawi didoakan laknat oleh Rasulullah sebagaimana hadits Jabir رضي الله عنه yang lalu.
4. Memakan harta riba termasuk dosa yang menghancurkan pelakunya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah z:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الَمُوبِقَاتِ -فَذَكَرَ مِنْهَا:- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan… (beliau menyebutkan di antaranya): memakan harta riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
Masih banyak lagi dalil tentang keharaman dan ancaman terhadap muamalah riba.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan: “Tidak ada dalam Kitabullah sebuah ancaman atas tindakan dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman terhadap riba.” (Syarah Buyu’ hal.125)

Harta riba tidak barakah dan berujung pada kehancuran
Allah menegaskan dalam firman-Nya:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)
Pemusnahan harta riba itu meliputi dua hal:
q Pemusnahan di dunia secara hakiki dengan kehancuran harta tersebut atau diambil barakahnya. Hal ini sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud z, Rasulullah bersabda:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidaklah ada seseorang yang memperbanyak riba melainkan akibat akhir urusannya adalah kekurangan.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/16)
q Pemusnahan di akhirat nanti secara maknawi. Dia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan sebagai orang muflis (bangkrut). (Syarah Buyu’ hal. 126)

Takwa kepada Allah dan tawakkal kepada-Nya adalah kunci datangnya rezeki yang halal
Allah berfirman:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Lafadz dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk nakirah (umum) dalam konteks persyaratan. Secara kaidah ushul fiqih mengandung arti umum, sehingga mencakup jalan keluar dari semua kasus dan problem. Ini juga memberi isyarat makna akan adanya jalan keluar terbaik dalam waktu cepat.
Bila Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Kaya, yang memberi jalan keluar sekaligus menjamin kebutuhan hamba yang takwa dan bertawakkal, lalu apa yang dikhawatirkan? Apa yang dia risaukan? Ketenangan dan ketentraman hatilah yang semestinya dirasakan.
Rasulullah bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan anugerahkan rezeki kepada kalian sebagaimana melimpahkan rezeki kepada burung, di pagi hari dalam keadaan lapar, (pulang) sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dari ‘Umar bin Al-Khaththab z, dan dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/110-111)

Anjuran mencari usaha yang halal dan keutamaan qana’ah
Allah berfirman:
“Maka apabila shalat itu telah usai, maka menyebarlah kalian di atas muka bumi dan carilah keutamaan dari Allah.” (Al-Jumu’ah: 10)
Rasulullah bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah ada seorang pun yang memakan suatu makanan yang lebih baik daripada apa yang dia makan dari hasil usahanya sendiri. Dan sungguh Nabiyullah Dawud makan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dari Miqdam bin Ma’dikarib z)
Sungguh benar. Berusaha mencari rezeki yang halal dari hasil usaha sendiri, bukan dengan cara mengemis, diiringi dengan ketakwaan dan tawakkal kepada Allah , setelah itu banyak bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) atas anugerah rezeki dari Allah . Alangkah tentramnya hati seorang hamba yang memiliki sifat qana’ah.
Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرِةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya materi (dunia). Namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan (yang ada) dalam hati.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah z)
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c, Rasulullah bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَكَانَ رِزْقُهُ كِفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا أَتَاهُ
“Sungguh bahagia seseorang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan Allah jadikan dia merasa qana’ah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya.” (HR. Muslim)
Seorang hamba yang diberi anugerah sifat qana’ah adalah orang yang merasa paling kaya di dunia. Sabda Rasulullah n:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فـِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حُيِّزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
“Siapa saja di antara kalian yang berpagi hari dalam keadaan aman (tentram) jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah telah dianugerahkan untuknya dunia seisinya.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau hasankan dari shahabat Abdullah bin Mihshan Al-Anshari z)
Akhirul kalam, mari kita renungkan bersama sabda Rasulullah berikut:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-cita/harapannya, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran selalu di pelupuk kedua matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa akhirat sebagai niatnya, maka Allah akan kumpulkan urusannya, Allah jadikan kekayaan dalam hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan dunia itu tidak suka.” (HR. Ibnu Majah dari Zaid bin Tsabit رضي الله عنه dan dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/263)
Wallahu a’lam bish-shawab.


Hukum Menabung di Bank Ribawi

Seseorang memiliki sejumlah uang dan menyimpannya di bank demi keamanan hartanya dan agar bisa menunaikan zakatnya bila telah berlalu satu haul. Bolehkah hal yang seperti ini? Berikanlah penjelasan kepada kami. Jazakumullah khairan.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:
Tidak boleh menyimpan di bank-bank ribawi meskipun tidak mengambil bunganya. Karena hal ini mengandung sikap tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Allah sungguh telah melarang hal tersebut. Namun, bila seseorang terpaksa melakukannya dan tidak mendapatkan tempat untuk menjaga hartanya kecuali di bank-bank ribawi, maka tidak mengapa insya Allah, karena darurat. Allah berfirman:
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Al-An’am: 119)
Bila dia mendapatkan suatu bank Islami atau tempat aman yang tidak mengandung unsur tolong-menolong dalam dosa dan ketakwaan, di mana dia bisa menyimpan hartanya di sana, tidak diperbolehkan baginya menyimpan hartanya di bank ribawi. (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 19/414, pertanyaan no. 253)


TRANSFER UANG MENGGUNAKAN JASA BANK

Apakah dibolehkan menabung di bank yang bermuamalah dengan riba bila seorang muslim mengkhawatirkan dirinya? Dan apakah hukum bermuamalah dengan bank tersebut pada perkara yang tidak mengandung riba, semacam transfer uang ke luar atau dalam negeri, yang di dalamnya terkandung maslahat untuk kami (muslimin) terbatas pada bank tersebut?

Jawab:
Pertama, menabung uang di bank-bank tersebut yang bermuamalah dengan riba tidaklah dibolehkan walaupun tidak mengambil bunganya. Karena di dalamnya terdapat unsur saling membantu dalam hal dosa dan permusuhan, sementara Allah telah berfirman:
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2)
Kecuali bila seorang muslim khawatir hartanya hilang (kecurian atau semacamnya, ed.) dan tidak mendapatkan cara lain untuk menjaganya kecuali di bank riba, maka diperbolehkan baginya untuk melakukannya, tanpa adanya bunga atas tabungan itu. Hal ini dalam rangka mengambil mudharat yang lebih kecil dan menangkal mudharat yang lebih besar.
Kedua, bermuamalah dengan bank yang memakai riba dalam hal yang mubah semacam mengirim/mentransfer uang adalah boleh ketika dibutuhkan untuk itu. Adapun berhubungan dengan bank dalam hal yang haram, tidaklah diperbolehkan.
Allah llah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakil: Abdurrazzaq ‘Afifi, anggota: Abdullah bin Qu’ud (Fatawa Al-Lajnah, 13/351-352, fatwa no. 4997)


BAGAIMANA MEMANFAATKAN BUNGA BANK

Seseorang memiliki bunga (bank) dalam jumlah yang besar –semoga Allah menyucikan kita dan melindungi muslimin darinya–. Apakah boleh dia menyalurkannya untuk kegiatan-kegiatan yang baik, seperti membangun perguruan tinggi syariah atau madrasah tahfidzul Qur’an secara khusus, dan kegiatan-kegiatan baik lainnya secara umum? Dan apakah membangun masjid dengannya haram atau makruh, atau hanya kurang baik? Berikan fatwa kepada kami, semoga Allah menambahkan ilmu kepada Anda sekalian.

Jawab:
Bunga riba termasuk harta yang haram. Allah berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Seseorang yang memiliki sesuatu dari harta tersebut hendaknya berusaha membersihkan diri darinya, dengan menginfakkannya pada hal yang bermanfaat bagi muslimin. Di antaranya membangun jalan, membangun sekolah, dan memberikannya kepada orang-orang fakir. Adapun masjid, tidak boleh dibangun dari harta riba. Tidak halal pula bagi seseorang untuk senantiasa mengambil atau memanfaatkan bunga.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Bakr Abu Zaid
(Fatawa Al-Lajnah, 13/354, fatwa no. 16576)



Apakah boleh seseorang meminta bunga dari uang seseorang yang telah meninggal –yang dahulu ditabungkan– ketika uang itu hendak diambil? Kalau tidak boleh, apakah bunga bank tersebut dibiarkan diambil oleh bank tersebut, baik untuk kepentingan bank atau selainnya?

Jawab:
Bila seorang muslim wafat dan meninggalkan harta di sebagian bank ribawi di mana ada bunganya, ahli waris atau para walinya yang lain tidak boleh mengambil bunga tersebut untuk kepentingan mereka, karena Allah mengharamkan riba. Rasulullah juga melaknat orang-orang yang memakannya, menulisnya, dan menjadi saksinya.
Namun jangan biarkan bunga itu ada di bank tersebut, bahkan ambil dan salurkanlah secepatnya pada kegiatan-kegiatan kebaikan. Seperti menyantuni orang fakir, melunasi utang orang yang kesulitan membayarnya, dan sejenisnya. Bagi orang yang berwenang terhadap pokok harta tersebut, hendaknya mengambilnya dari bank. Karena keberadaannya di bank adalah salah satu bentuk saling membantu dalam dosa dan permusuhan. Kecuali bila terpaksa untuk tetap menyimpannya di sana, maka tidak mengapa namun tanpa bunga, seperti jawaban pertanyaan pertama yang telah lalu.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad, wa alihi wshahbihi wasallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakil: Abdurrazzaq Afifi, anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud


Dalam permasalahan seseorang yang menyimpan uang di bank dan ia mengetahui haramnya riba, apakah ia harus mengambil uangnya saja atau beserta ribanya, terdapat perbedaan pendapat. Asy-Syaikh Al-Albani t menyatakan dalam kaset Silsilatul Huda wa Nur (no. 231), bahwa ada yang berpendapat riba tersebut tidak diambil secara mutlak, adapula yang berpendapat boleh diambil dan diberikan kepada fuqara. Ada lagi yang berpendapat riba tersebut boleh diambil tapi jangan dimanfaatkan olehnya secara pribadi. Namun riba tersebut hendaknya diberikan untuk pembuatan fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara bersama seperti jalan atau saluran air, dan yang sejenisnya.


Allah Musnahkan Riba dan Suburkan Sedekah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal, Lc)

Al-Imam Muslim t berkata dalam Ash-Shahih:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ -وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ- قَالَا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ وَهْبٍ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ اللَّيْثِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ zعَنِ النَّبِيِّ n قَالَ: بَيْنَ رَجُلٌ بَفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا مِنْ سَحَابَةٍ: اسْقِ حَدِيْقَةَ فُلَانٍ! فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشرَاجِ قَدِ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءُ كُلُّهُ فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيْقَتِهِ يَحُولُ الْمَاءَ بِمسْحَاتِهِ فَقَال لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ مَا اسْمُكَ؟ قَالَ: فُلَانٌ؛ لِلْاِسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، لِمَ تَسْأَلُنِي عَنِ اسْمِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحَابِ الَّذِي هَذَا مَاؤُهُ يَقُولُ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلَانٍ لِاسْمِكَ فَمَا تَصْنَعُ فِيهَا؟ قَالَ: أَمَّا إِذْ قُلْتَ هَذَا فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِي ثُلُثًا وَأَرُدُّ فِيهَا ثُلُثَهُ
Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb menceritakan kepadaku -dan ini lafzdz Abu Bakr-, keduanya berkata: Yazid bin Harun menceritakan kepadaku: Abdul Aziz bin Abi Salamah menceritakan kepadaku, dari Wahb bin Kaisan, dari Ubaid bin Umair Al-Laitsi, dari Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau bersabda: Ketika seorang berada di tengah hamparan padang, tiba-tiba terdengar olehnya suara dari awan: “Siramilah kebun si fulan!” Seketika itu bergeraklah awan minggir menghujani lahan yang berbatuan hitam. Hingga penuhlah salah satu sungai dari sungai-sungai yang ada. (Air pun mengalir) lalu dia ikuti aliran, hingga dijumpainya seorang lelaki tengah berdiri di kebunnya sibuk mengalirkan air dengan alat yang dipegangnya. Dia bertanya: “Wahai hamba Allah, siapa namamu?” Lelaki ini menjawab: “Aku Fulan.” –persis dengan nama yang terdengar dari awan–, kemudian menimpali: “Wahai hamba Allah, apa gerangan yang menyebabkan dirimu bertanya perihal namaku?” Berkatalah ia: “Sungguh aku telah mendengar suara dari awan yang telah mencurahkan air (yang mengalir ke kebunmu) ini. Aku mendengar suara: ‘Siramilah kebun si fulan!’ –menyebut namamu– (Wahai fulan) apakah yang telah kau lakukan terhadap kebunmu?” Lelaki ini menjawab: “Jika demikian apa yang kau katakan, maka sesungguhnya aku selalu melihat hasil panen dari kebunku. Aku sedekahkan sepertiganya, sepertiga lagi aku makan bersama keluargaku, dan sepertiga lainnya aku gunakan untuk mengolah kebunku.”
Takhrij hadits
Al-Imam Muslim t meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya Kitab Az-Zuhd war Raqaiq no. 2984, dari dua gurunya; Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb. Keduanya meriwayatkan dari Yazid bin Harun, dari Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah1, dari Wahb bin Kaisan, dari ‘Ubaid bin ‘Umair Al-Laitsi, dari Abu Hurairah z, dari Rasulullah dengan lafadz di atas, dan ini adalah lafadz Abu Bakr ibnu Abi Syaibah.
Melalui jalan Yazid bin Harun dari Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah inilah, Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Al-Musnad (2/296). Demikian pula Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 3355.
Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim Al-Asbahani dalam Akhbar Al-Ashbahan (2/192) melalui jalan ‘Amr bin Marzuq, dari Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah, dengan sanad yang sama, dari Abu Hurairah رضي الله عنه
Al-Imam Muslim t juga meriwayatkan dalam Ash-Shahih no. 2984 melalui guru ketiganya; Ahmad bin ‘Abdah Adh-Dhabbi, dari Abu Dawud2, dari Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah, dengan sanad yang sama pula dari Abu Hurairah z, dengan lafadz:
وَأَجْعَلُ ثُلُثَهُ فِي الْمَسَاكِينِ وَالسَّائِلِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ
“Dan aku sediakan sepertiganya untuk orang-orang miskin, peminta-minta, dan ibnu sabil.”
Hadits ini shahih, semua perawinya terpercaya, dan tidak ada keraguan atas keshahihan hadits ini, menurut kesepakatan kaum muslimin atas keshahihan dua kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Allahu ta’ala a’lam.

Kebaikan dunia dan akhirat hanya dengan beribadah kepada Allah l
At-Tauhid, beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya adalah sumber segala kebaikan. Sebaliknya, kesyirikan dan kemaksiatan kepada-Nya adalah sumber segala bencana dunia dan petaka di hari kemudian. Allah berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Ayat di atas, demikian pula hadits Abu Hurairah رضي الله عنه yang baru saja kita simak, adalah sekian dari dalil Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan buah dari mentauhidkan Allah dan ketaatan kepada-Nya.
Lihatlah berita Rasulullah yang sangat menakjubkan. Kisah seorang lelaki beriman yang mengeluarkan sedekah dari kebunnya. Dengan tauhid; beribadah kepada Allah semata dan zakat yang dia keluarkan, Allah bukakan berkah dari langit dan bumi. Allah suburkan tanahnya, Allah tumbuh kembangkan kebunnya, bahkan Allah khususkan siraman hujan untuknya. Subhanallah, sungguh sebuah kisah yang penuh ibrah. Tentu bagi mereka yang mau merenungkannya.
Maka, siapapun yang berharap keberkahan dalam harta serta mendambakan tambahan yang berlipat dari rezekinya baik di dunia yang fana ini atau di akhirat yang kekal dan abadi, sungguh yang harus dia lakukan adalah beribadah kepada Allah semata dan tunduk kepada syariat-Nya. Untuk itulah sesungguhnya manusia diciptakan, sebagaimana Allah berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Sedekah tidak mengurangi harta
Al-Imam An-Nawawi t (631-676 H) berkata: “Hadits ini (menunjukkan) keutamaan bersedekah serta berbuat baik kepada orang-orang miskin dan ibnu sabil. Demikian pula, (menunjukkan) keutamaan seorang yang makan dari hasil jerih payahnya dan keutamaan berinfak untuk keluarga.”3
Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه juga menunjukkan bahwasanya sedekah tidaklah mengurangi harta, apalagi memusnahkannya.
Saudaraku, semoga Allah memberkahi dan merahmati kita. Pernahkah terbersit bahwasanya sedekah yang kita keluarkan akan mengurangi harta atau memusnahkannya? Mungkin bersitan itu pernah muncul dan bisikan itu pernah terngiang di relung hati. Demikian setan membisiki dada-dada manusia, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 268)
Setan senantiasa menghalangi manusia dari kebajikan, menghalangi mereka dari sedekah dan menakut-nakutinya dengan kemiskinan. Sementara Allah berjanji akan memberikan ampunan dan keutamaan yang besar. Di sinilah manusia diuji, apakah dia kokoh meyakini janji Allah atau lebih menuruti bujuk rayu setan.
Ketahuilah, sesungguhnya sedekah yang dikeluarkan tidak akan mengurangi harta apalagi menyebabkan musnahnya. Lelaki yang diceritakan Rasulullah dalam hadits Abu Hurairah رضي الله عنه sama sekali tidak merasakan kekurangan pada hartanya. Bahkan sebaliknya, Allah bukakan pintu-pintu rezeki serta berkah dari langit dan bumi.
Rahmat Allah demikian luas. Keutamaan-Nya tidak terhingga. Sedekah yang dikeluarkan hamba-Nya tidaklah mengurangi harta, demikianlah janji Allah sebagaimana terucap dari lisan Rasulullah n:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta….” (Al-Hadits)4
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t (1308-1376 H) menerangkan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan sedekah. Sedekah tidaklah mengurangi harta. Kalaulah kita anggap bahwa sedekah itu mengurangi harta dari satu sisi (yakni jumlahnya, pen.), namun tambahan bagi harta sungguh akan dilimpahkan dari sisi-sisi lain.
Dengan sedekah, harta akan Allah berkahi. Dengan sedekah, harta akan diselamatkan dari kejelekan-kejelekan dan akan berkembang. Dengan sedekah, pintu-pintu rezeki dibukakan bagi orang yang bersedekah dan akan dibukakan sebab-sebab bertambahnya harta, yang (semuanya itu) tidak diberikan bagi orang yang tidak bersedekah.
(Jika demikian keutamaan sedekah), akankah kemudian bisa kita bandingkan keutamaan-keutamaan tersebut dengan keluarnya sebagian kecil dari harta yang disedekahkan? (Sungguh) sedekah yang dikeluarkan pada tempatnya –karena Allah l– tidak pernah memusnahkan harta, bahkan menguranginya pun tidak, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah . Demikian pula kenyataan yang kita saksikan dan pengalaman yang terjadi (seluruhnya menunjukkan bahwa sedekah tidaklah mengurangi harta, pen.).5
Saudaraku rahimakumullah. Di antara keutamaan Allah atas hamba-Nya yang bersedekah, Allah memerintahkan malaikat untuk mendoakan kebaikan atas mereka. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا؛ وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
Tidaklah suatu hari di mana hamba-hamba Allah masuk di pagi hari, melainkan selalu turun dua malaikat. Salah satu dari keduanya berdoa: ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi mereka yang berinfak.’ Adapun malaikat kedua dia berdoa: ‘Ya Allah, berilah kebinasaan bagi mereka yang menahan sedekah.’6
Allah pun ganti dan tambah harta mereka, sebagaimana Dia telah berjanji:
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)
Sedekah yang dikeluarkan tidaklah hilang. Bahkan apa yang diinfakkan, itulah harta yang sesungguhnya. Adalah Ummul Mukminin Aisyah x menuturkan:
أَنَّهُمْ ذَبَحُوا شَاةً فَقَالَ النَّبِيُّ n: مَا بَقِيَ مِنْهَا؟ قَالَتْ: مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا كَتِفُهَا. قَالَ: بَقِيَ كُلُّهَا إِلَّا كَتِفُهَا
(Suatu saat keluarga Rasulullah n) menyembelih seekor kambing. (Setelah disedekahkan) Nabi bertanya: “Adakah yang tersisa darinya?” Aisyah berkata: “Tidak ada yang tersisa kecuali bahunya.” Rasul pun menimpali: “(Justru) semuanya masih utuh (tersimpan), kecuali bahu (yang belum disedekahkan).”7
Sabda Rasulullah kepada istrinya yang paling dicintai demikian tegas, bahwa apa yang disedekahkan tidaklah musnah. Bahkan itulah yang sesungguhnya kekal di sisi Allah , sebagaimana dalam firman-Nya:
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 96)
Demikian Rasulullah mendidik istri dan sahabatnya sampai hakikat ini tertanam dalam dada. Sehingga kita tidak heran ketika mereka menginfakkan separuh hartanya, sebagian atau bahkan seluruh hartanya di jalan Allah sebagaimana dilakukan Abu Bakr Ash-Shiddiq رضي الله عنه  Mereka yakin bahwa apa yang disisi Allah itulah yang kekal. Mereka yakin pula Allah akan mengganti apa yang dikeluarkan dengan ganti yang berlipat dan lebih baik.
Adalah Utsman bin ‘Affan رضي الله عنه –beliau keluarkan seribu dinar (emas) – guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah saat perang Tabuk. Beliau siapkan 30.000 pasukan dengan harta beliau. Allahu Akbar! Tidak sedikitpun terbersit dalam benak beliau kemiskinan. Beliau pun meraih apa yang lebih baik di sisi Allah . Seraya membolak-balikkan emas yang Utsman infakkan, Rasulullah bersabda:
“Tidaklah membahayakan bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.”8 (Karena sesungguhnya beliau telah diampuni, pen.)9

Allah musnahkan riba dan suburkan sedekah
Beberapa keutamaan sedekah dan pengaruhnya bagi harta yang telah kita sebut di atas mengingatkan kita akan firman Allah :
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 276)
Riba dan sedekah adalah dua hal yang sangat berlawanan. Sedekah, yang kebanyakan manusia bakhil karena khawatir hartanya berkurang, justru itulah yang Allah kembangkan. Sebaliknya, apa yang manusia sangka menambah hartanya yaitu riba, justru Allah musnahkan bahkan Allah perangi pelakunya. Tetapi kebanyakan manusia telah terbalik penilaiannya. Janji Allah tentang sedekah mereka abaikan. Sebaliknya, ancaman Allah tentang riba tidak lagi dihiraukan.
Manusia justru berbondong menempuh jalan pintas mengembangkan hartanya dengan riba. Hingga berita Rasulullah tentang apa yang terjadi di akhir zaman benar-benar terwujud. Beliau bersabda:
بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ يَظْهَرُ الرِّبَا
“Di saat mendekati kiamat akan tampak (meluas) riba.”10
Perkumpulan-perkumpulan sering disisipi kegiatan simpan-pinjam dengan mengembalikan uang jasa yang tak lain adalah riba. Deposito bank menjadi kebanggaan dan seolah menjadi jaminan masa depan. Pendek kata, banyak kaum muslimin terjatuh pada riba. Keadaan ini diperparah dengan banyaknya bank dan lembaga ribawi lainnya serta merebaknya bank-bank berlabel “syariah”, yang ternyata produk-produknya masih sangat kental dengan riba melalui  rekayasa-rekayasa yang menipu kebanyakan muslimin.11
Para pemuja dunia menyangka bahwa bank dengan ribanya adalah sarana mengembangkan harta dan satu-satunya lembaga yang terpercaya untuk menginvestasikan harta. Bahkan mungkin di antara mereka ada yang mengatakan bahwasanya mustahil di zaman ini seseorang terlepas dari riba. Mustahil seseorang hidup tanpa riba. Benarkah demikian? Tidak! Justru riba adalah sumber kerusakan dan kehinaan. Bukan kebaikan yang diraup, justru kemurkaan Allah dan kenistaanlah yang akan dituai.
Mereka sangka bahwa dengan riba harta akan berkembang, sebaliknya dengan bersedekah harta berkurang. Sungguh ini adalah buruk sangka kepada Allah dan waswas setan. Tidakkah kita renungkan firman Allah :
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 276)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah akan memusnahkan riba dan akan hilangkan barakahnya. Riba adalah sebab turunnya kejelekan-kejelekan pada harta dan tercabutnya barakah. Kalaulah seseorang menginfakkan harta yang dia peroleh dengan riba, sungguh pahala tidaklah akan dia raup, bahkan akan menjadi beban baginya di neraka. Adapun sedekah, maka Allah akan terus menyuburkannya dan Allah turunkan barakah pada harta yang dikeluarkan zakatnya. Pahala sedekah akan Allah pelihara (dan Allah lipat gandakan, pen.) untuknya. (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 117)12

Krisis bangsa dituntaskan dengan takwa, bukan dengan riba
Menyoal masalah yang menimpa bangsa ini adalah hal yang sangat penting, terlebih keadaannya yang semakin terpuruk. Karut-marutnya perpolitikan, kemerosotan moral dan akhlak anak bangsa, kemiskinan dan krisis ekonomi yang terus mendera, benar-benar membuat banyak orang berpikir dan bertanya apa sebenarnya yang harus dilakukan untuk mengentaskan bangsa ini dari segala problema yang membelitnya. Dari mana sesungguhnya perbaikan itu harus dimulai?
Dari pemikiran materialis, di mana kebahagiaan diukur dengan emas dan perak, kemudian menatap bahwasanya bank adalah lembaga keuangan yang kokoh, sehingga mampu menjamin ekonomi individu atau bangsa, mulailah hati kebanyakan manusia terbelenggu dengan bank dan menjadikannya sebagai salah satu ujung tombak perbaikan bangsa. Mereka lalu melupakan perkara yang terpenting dalam kehidupan –yaitu At-Tauhid– untuk menghadapi segala problematika kehidupan. Demikianlah jika qalbu telah terbalik.
Sesungguhnya jalan memperbaiki sebuah negeri atau individu hanya ada dalam firman Allah dan sabda Rasul-Nya . Tetapi siapa di antara manusia yang mau menjadikan Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai pedoman dan pelita di tengah gulita? Hanyalah orang-orang yang beriman dan hidup qalbunya yang mau kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه yang sedang kita bahas sesungguhnya adalah jawaban dari pertanyaan yang menggelayuti benak para pemikir dan pakar politik atau ekonomi. Bangsa ini akan terangkat dan akan memiliki kemuliaan dengan ketakwaan. Allah berfirman:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ  ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf : 96)
Maka perkara pertama yang harus diselesaikan adalah mengentaskan umat ini dari kerusakan akidah, menyeru mereka untuk memurnikan ibadah hanya untuk Allah , dan mengajak semua manusia kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Mengikuti jejak as-salafush shalih.
Maka menjadi sebuah keharusan bagi seluruh manusia untuk segera bertaubat kepada Allah dari kesyirikan dan memurnikan ibadah hanya untuk-Nya. Dengan itu, Allah akan memberi kemuliaan dan kebahagiaan. Demikianlah Nabi Nuh q mewasiatkan umatnya untuk segera bertaubat kepada Allah dan menjanjikan kemuliaan dari-Nya. Allah berfirman:
ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ  ﰁ ﰂ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ  ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ
Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)

Memenuhi seruan Allah untuk meninggalkan riba
Allah menyeru orang-orang yang beriman untuk bersegera meninggalkan riba, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 278)
Orang yang beriman ketika mendengar seruan Allah dalam ayat ini tentu lebih mengedepankan ridha-Nya daripada hawa nafsunya, lalu bersegera meninggalkan riba yang terlaknat.13 Ayat ini cukup bagi orang yang beriman untuk tidak berkubang dalam lumpur riba dan bergegas menghindarkan dirinya dari azab Allah yang pedih.
Adapun mereka yang terus berada dalam riba, maka sesungguhnya Allah telah mengancam perang dalam ayat selanjutnya:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 279)
Manusia –menurut tabiatnya– akan ditimpa takut bila datang berita bahwa pasukan musuh datang menyerang. Tetapi sungguh mengherankan, tatkala Allah nyatakan perang bagi pelaku riba, justru kebanyakan manusia menganggapnya sebagai angin lalu. Bahkan tidak jarang terucap dari lisan mereka keraguan akan rezeki Allah . Mereka berkata: “Kalau kita pilih-pilih pekerjaan, kita makan apa? Kalau kita tinggalkan bank, bagaimana nasib anak-anak kita? Kita kasih makan apa mereka?” Sungguh mengejutkan ucapan ini! Tidakkah mereka sadar bahwa rezeki bukan di tangan bank? Tidakkah mereka ingat bahwa Allah lah Dzat yang memberikan rezeki?
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhil Mahfuzh).” (Hud: 6)
Namun, tatkala keridhaan Allah dicampakkan dan neraka Allah dianggap sebagai berita yang tidak perlu dikhawatirkan, kaki pun terus melangkah untuk menempuh apa yang Allah haramkan.
Dahulu, empat belas abad silam, Rasulullah mengabarkan akan datangnya masa di mana manusia tidak lagi memedulikan harta yang dia peroleh, halal atau haram. Beliau bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَال الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ، أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang kepada manusia zaman di mana seorang tidak lagi peduli akan harta yang dia ambil, apakah dari yang halal atau dari yang haram.”14
Kenyataan itu telah kita saksikan. Manusia tidak lagi peduli dengan riba. Tidak lagi menimbang harta yang di tangannya apakah itu halal atau haram. Hingga ancaman Allah menimpa mereka yang bergelimang riba. Meskipun secara zhahir mereka memiliki sesuatu dari dunia, akan tetapi sungguh Allah hancurkan kehidupannya. Dada-dada mereka sempit, nafas-nafas mereka terengah. Allah palingkan dirinya dari akhirat, mereka pun tersibukkan dengan emas dan perak. Allah jatuhkan dunianya dan akhiratnya. Allah musnahkan hartanya. Allah cabut ketentraman hatinya. Allah cabut berkah pada harta, anak-anak, dan umurnya.
Siapakah yang mampu menghadapi Allah ketika Dia memerangi? Tidakkah kita takut dengan ancaman Allah dalam firman-Nya:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 279)
Kehinaan itu bukan hanya di dunia, bahkan kesengsaraan akan terus menimpa mereka yang terus tenggelam dalam riba sesudah kematiannya.
Suatu pagi, seusai salat subuh, Rasulullah menceritakan perjalanan mimpi beliau bersama malaikat Jibril dan Mikail e sebagaimana diceritakan sahabat Samurah bin Jundub رضي الله عنه  Dalam perjalanan itu Rasul saksikan berbagai azab yang menimpa ahli maksiat, di antaranya para pemakan riba. Rasulullah bersabda tentang apa yang menimpa mereka:
فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ مِنْ دَمٍ فِيْهِ رَجُلٌ قَائِمٌ عَلَى وَسْطِ النَّهْرِ وَعَلَى شَطِّ النَّهْرِ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهْرِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِالْحِجَارَةِ فِي فِيْهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيْهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ
“… Kita pun pergi hingga menjumpai sebuah sungai darah, di tengahnya seorang yang berdiri dan di pinggir sungai seorang yang di hadapannya batu. Mendekatlah lelaki yang berada di tengah sungai darah, di saat hampir keluar darinya, lelaki yang lain melemparkan batu ke mulutnya hingga dia kembali ke tengah sungai, demikian seterusnya setiap hendak keluar dilempar ke mulutnya batu hingga kembali (tersiksa di tengah sungai darah).”15
Seorang yang beriman selalu khawatir seandainya masih ada harta haram seperti riba yang masih tersisa saat kematian menjemputnya. Dia pun membayangkan apa yang akan dia katakan kepada Allah ketika ditanya tentang hartanya, dari mana didapat dan untuk apa digunakan. Rasulullah bersabda:
لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ؛ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam dari sisi Rabbnya pada hari kiamat hingga ditanya lima perkara, tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa disirnakan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan untuk apa dikeluarkan, dan tentang ilmunya apa yang telah dia amalkan.”16
Jalan kebenaran telah dibentangkan di hadapan kita selebar-lebarnya. Rasulullah telah menerangkan jalan menuju Allah sejelas-jelasnya. Demikian pula jalan menuju jahannam telah diperingatkan. Qalbu yang hidup akan segera bangkit memenuhi panggilan Allah . Qalbu yang bersih tentu tidak akan angkuh dan sombong di hadapan kebenaran yang telah dipancangkan di hadapannya.
Tinggal kita memilih untuk melangkahkan kaki. Akankah kita tinggalkan riba dan mengeluarkan sedekah, atau tetap memakan riba dan menahan sedekah?
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Washalallahu wa sallama ‘ala Nabiyyina Muhammadin.

1 Abdul ‘Aziz bin Abi Salamah, dinisbatkan kepada kakeknya. Beliau adalah Abu Abdillah Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Abi Salamah Al-Majisyun, termasuk kibar tabi’in (tabi’in besar/utama), meninggal tahun 164 H.
2 Beliau adalah Al-Imam Abu Dawud, Sulaiman bin Dawud bin Al-Jarud Ath-Thayalisi (204 H), penulis kitab Al-Musnad. Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه ini dikeluarkan dalam Musnad-nya no. 2587.
Melalui jalan Abu Dawud, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 2984) dari guru beliau Ahmad bin ‘Abdah –sebagaimana telah kita sebutkan–. Demikian pula Abu Nu’aim Al-Asbahani dalam Hilyatul Auliya (3/275-276) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (4/133).
3 Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi t (18/115).
4 HR. Muslim no. 2588 dan At-Tirmidzi no. 2029 dari sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه
5 Lihat Bahjah Qulub Al-Abrar karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t hal. 188, syarah hadits ke-34.
6 Al-Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010 dari hadits Abu Hurairah رضي الله عنه
7 At-Tirmidzi dalam As-Sunan no. 2470.
8 At-Tirmidzi dalam As-Sunan no. 3701.
9 Demikian diterangkan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi.
10 Diriwayatkan Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir sebagaimana dikatakan Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib (3/9). Al-Mundziri berkata: “Rawi-rawinya perawi shahih.”
11 Di antaranya mengemas riba dengan istilah-istilah syariat, seperti mudharabah, murabahah, dan semisalnya.
12 Dengan sedikit perubahan.
13  Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Muslim t dalam Ash-Shahih no. 1598.
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ n آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah melaknat orang yang memakan (memakai) riba, memberi riba, penulisnya dan dua saksinya. Kata beliau: “Mereka ini sama.”
An-Nawawi t berkata dalam Syarh Shahih Muslim: “Tegas dalam hadits ini akan keharaman mencatat akad dua orang yang melakukan riba dan menjadi saksi (dalam akad tersebut). Dalam hadits ini pula (ada dalil) diharamkannya membantu perkara yang batil.”
14 HR. Al-Bukhari (4/313) dengan syarh Fathul Bari no. 2083 dari hadits Abu Hurairah رضي الله عنه
15 Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no. 1386.
16  HR. At-Tirmidzi no. 2416, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t.

Mewaspadai Sistem Ekonomi Yahudi

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi)

Yahudi adalah bangsa yang berkarakter buruk; curang, licik, angkuh, zalim, dan lihai mengotak-atik otak dalam rangka berbuat makar terhadap para rasul, mengakali syariat agama, serta mengubah kitab suci. Mereka musuh abadi umat Islam yang berada di balik makar Khawarij dan Syi’ah. Penebar segala produk kebatilan di tengah-tengah umat dan berambisi menggenggam dunia dengan segala cara.1
Tak heran, bila Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berlepas diri (bara’) dari kaum Yahudi dengan tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin dan memboikot segala prinsip, ibadah, serta jalan hidup yang ada pada mereka. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
Bahkan Allah mengancam siapa saja yang mengikuti agama dan hawa nafsu mereka dengan ancaman yang keras. Allah berfirman:
“Jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Yahudi dan Nashrani) setelah datang kepadamu ilmu (kebenaran), maka Allah tiada menjadi Pembela dan Penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)

Karakteristik Bangsa Yahudi
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah , Yahudi adalah bangsa yang paling loba (tamak) terhadap kehidupan di dunia. Hal ini sebagaimana terungkap dalam firman Allah :
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka (Yahudi), manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) daripada orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 96)
Karakteristik mereka dalam menjalani roda kehidupan pun sungguh “luar biasa”. Kitab suci mereka campakkan. Sedangkan para rasul (manusia terbaik di masanya) mereka dustakan dan bahkan sebagian yang lain mereka bunuh, manakala ajaran yang dibawa tidak sesuai dengan keinginan (baca: hawa nafsu) mereka. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa. Dan telah Kami susulkan (berturut-turut) sesudah itu rasul-rasul. Dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada ‘Isa putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus (Malaikat Jibril). Apakah setiap kali datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (ajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian, lalu kalian bersikap angkuh? Maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh?!” (Al-Baqarah: 87)
Demikian pula mayoritas dari mereka bersegera dalam membuat dosa, permusuhan, dan memakan harta haram. Sementara orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka tidak ada yang melarang dari perbuatan tersebut. Allah berfirman:
“Dan kamu akan melihat mayoritas dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (Al-Maidah: 62-63)
Tak ketinggalan pula perilaku zalim, menghalangi (manusia) dari jalan Allah , memakan riba yang jelas-jelas dilarang, dan memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil. Dengan sebab itulah akhirnya Allah haramkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka. Hal ini sebagaimana firman Allah :
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa’: 160-161)
Berikutnya, manakala harta berhasil mereka raih, maka kesombongan, bangga diri, dan sifat bakhil-lah yang menguasai mereka. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Yaitu) orang-orang yang bakhil, menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan Kami sediakan bagi orang-orang kafir tersebut azab yang menghinakan.” (An-Nisa’: 36-37)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Dalam ayat ini Allah menyifati orang-orang Yahudi dengan sifat bakhil; yakni bakhil ilmu dan harta. Walaupun sebenarnya konteks ayat ini lebih mengarah pada kebakhilan mereka dalam hal ilmu…” (Lihat Iqtidha’ Ash-Shiratil Mustaqim, juz 1 hal. 83)

Pijakan Sistem Ekonomi Yahudi
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah , segala sistem yang melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya pasti berkesudahan buruk walaupun dirancang secara sistematis  dan dikemas dengan kemasan yang menarik. Termasuk pijakan sistem ekonomi yang ada pada bangsa Yahudi; menjalankan riba dan memakan dari hasilnya, memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil, memakan yang haram, berbuat bakhil, dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil. Semua itu tidaklah mengantarkan kecuali kepada keterpurukan dan krisis berkepanjangan, yang berdampak pada stabilitas kehidupan bermasyarakat. Untuk membuktikannya simaklah keterangan berikut ini:

1. Menjalankan riba dan memakan dari hasilnya
Riba merupakan dosa besar yang diharamkan Allah kepada bangsa Yahudi, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 161 di atas. Pengharaman itu pun terus berlanjut pada umat Rasulullah n. Allah berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri (ketika dibangkitkan dari kuburnya, pen.) melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, disebabkan mereka (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Allah, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), urusannya (terserah) Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni An-Nar; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah. Dan Allah tidak suka terhadap orang yang tetap di atas kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, merekalah orang-orang yang mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tiada kekhawatiran pada diri mereka dan tiada (pula) mereka bersedih hati. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian benar-benar orang yang beriman. Jika kalian masih keberatan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok (modal) harta; kalian tidaklah menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 275-279)
Firman Allah di atas merupakan salah satu rangkaian ayat tentang pengharaman riba dan dahsyatnya hukuman Allah bagi yang menjalankannya. Di dunia diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan di akhirat tidak dapat berdiri ketika dibangkitkan dari kuburnya melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan. Baik itu riba dain (dalam utang piutang), riba fadlh, ataupun riba nasi’ah. Bagaimana rincian dari jenis-jenis riba tersebut? Untuk mengetahuinya silakan membaca kembali Majalah Asy Syari’ah edisi Riba di Sekitar Kita No. 28/1428 H/2007 dan edisi Permasalahan Seputar Bank & Asuransi No. 29/1428 H/2007. Demikian pula kajian utama pada edisi kali ini.
Suatu kampung (baca: tempat) yang tersebar padanya riba, maka masyarakatnya setiap saat terancam mendapatkan azab dari Allah . Rasulullah n bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Jika zina dan riba telah nampak di sebuah kampung, maka sungguh (masyarakatnya) telah menghalalkan diri mereka untuk mendapatkan azab Allah .” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/43. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 679)
Lebih dari itu, praktik riba merupakan sebab kehinaan umat dan keterpurukannya. Rasulullah n bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian melakukan praktik jual beli ‘inah (salah satu bentuk transaksi riba, pen.)2, mengambil ekor-ekor sapi (sibuk dengan peternakan), senang dengan bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan atas kalian kehinaan yang tidak akan (kehinaan tersebut) dicabut dari sisi kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam As-Sunan no. 3462 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 5/316 dari sahabat Abdullah bin Umar c. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.11)

2. Memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil
Memakan harta benda sesama dengan jalan yang batil merupakan salah satu sumber petaka dalam kehidupan bermasyarakat. Dampaknya pun amat buruk bagi lingkungan dan stabilitas keamanan. Baik yang nampak seperti merampok, mencuri, mencopet, dll., maupun yang tidak transparan seperti; penipuan dengan berbagai modusnya, menerima suap untuk memenangkan pihak tertentu, dll. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku di atas azas saling meridhai di antara kalian.” (An-Nisa’: 29)
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)

3. Memakan yang haram
Memakan yang haram dengan berbagai bentuknya merupakan sebab dicabutnya barakah dari kehidupan seseorang, keluarga, ataupun masyarakat. Padahal keberadaan barakah dalam kehidupan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh siapa pun yang menjalani roda kehidupan ini. Rasulullah n bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا. وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ. فَقَالَ: {يَآ أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ}. فَقَالَ: {يَآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ}. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ. أَشْعَثَ أَغْبَرَ. يَمُدُّ يَدَيْهِِِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ! يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟!
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik (Suci) tidaklah menerima kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang telah Allah perintahkan kepada para Rasul. Allah berfirman: “Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan beramal shalihlah, sesungguhnya Aku Maha mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” (Al-Mukminun: 51) Dia juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari segala sesuatu yang baik, yang telah Kami rizkikan kepada kalian.” (Al-Baqarah: 172) Kemudian Rasulullah n menyebutkan tentang seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan jauh (safar), dalam kondisi rambutnya acak-acakan dan tubuhnya dipenuhi oleh debu, lalu menengadahkan tangannya ke langit (seraya) berdoa: ‘Ya Rabbi! Ya Rabbi!’ Sementara makanannya dari hasil yang haram, minumannya dari hasil yang haram, pakaiannya pun dari hasil yang haram, dan (badannya) tumbuh berkembang dari hasil yang haram. Maka mana mungkin doanya akan dikabulkan oleh Allah?!” (HR. Muslim dalam Shahihnya, dari sahabat Abu Hurairah z, hadits no. 1015)
Perjudian dengan segala modelnya, menjadi jalan pintas untuk memakan harta yang haram. Padahal ia dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian di tengah masyarakat, serta dapat menghalangi mereka dari mengingat Allah dan menegakkan shalat. Akibatnya, ketenangan hidup dengan sesama tidak diraih, sementara jiwa pun menjadi liar karena hampa dari mengingat Allah dan menegakkan shalat. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari perbuatan itu).” (Al-Maidah: 90-91)

4. Berbuat bakhil dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil
Bakhil merupakan perbuatan tercela yang diharamkan Allah . Pelakunya akan dililit kesukaran hidup dan digiring oleh Allah untuk terjerumus ke dalam kejelekan dan kejahatan.3 Allah berfirman:
“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 8-10)
Bahkan bakhil dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil merupakan pangkal kebinasaan. Ia telah mengantarkan umat terdahulu pada pertumpahan darah dan menghalalkan segala yang diharamkan Allah . Rasulullah n bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ
“Jagalah diri kalian dari perbuatan zalim, karena kezaliman itu kegelapan pada hari kiamat, dan jagalah diri kalian dari perbuatan bakhil (dan ambisi untuk bakhil), karena ia telah membinasakan umat sebelum kalian. Perbuatan bakhil (dan ambisi untuk bakhil) itu mengantarkan mereka pada pertumpahan darah dan menghalalkan segala yang diharamkan Allah .” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2578, dari sahabat Jabir bin Abdillah z)

Awas Bahaya Yahudi!
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah , dari bahasan sebelumnya telah diketahui karakteristik bangsa Yahudi dalam menjalani roda kehidupan, khususnya tingkah polah mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mereka menjalankan riba dan memakan dari hasilnya, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 161.
Mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 161.
Mereka memakan yang haram, sebagaimana dalam Surat Al-Maidah ayat 62.
Manakala harta telah diraih, mereka pun berbuat bakhil bahkan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil, sebagaimana dalam Surat An-Nisa’ ayat 37.
Tentunya karakteristik Yahudi dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut tidak selaras dengan Islam yang dibawa Rasulullah n. Agama suci yang menanamkan sikap selektif dalam memilih mata pencaharian kepada umatnya. Islam tak menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan semua telah diatur sedemikian rupa demi kebahagiaan pemeluknya di dunia dan di akhirat. Allah berfirman:
“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah: 168)
Lebih dari itu, segala pijakan sistem ekonomi Yahudi tersebut mengantarkan kepada keterpurukan dan krisis ekonomi berkepanjangan, yang berdampak pada stabilitas kehidupan bermasyarakat. Riba mengantarkan kepada kehinaan, keterpurukan, dan azab Allah . Memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil merupakan salah satu sumber petaka dalam kehidupan bermasyarakat. Memakan yang haram, penyirna barakah dalam kehidupan. Perbuatan bakhil penyebab kesukaran hidup, pertumpahan darah, dan sikap menghalalkan yang diharamkan Allah .
Atas dasar itulah, seyogianya umat Islam mewaspadai sistem ekonomi yang berpijak pada karakteristik orang-orang Yahudi yang dimurkai Allah itu. Tidak boleh mengikuti sistem ekonomi mereka, apalagi menjadikannya sebagai acuan pendapatan baik bagi individu, keluarga, ataupun negara.
Akhir kata, semoga Allah mengembalikan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah n, serta berpegang teguh dengannya berdasarkan pemahaman as-salafush shalih. Karena dengan itulah akan teratasi segala keterpurukan, akan sirna segala kehinaan, dan akan diraih kejayaan yang telah lama dirindukan.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Untuk lebih rincinya silakan kaji kembali Majalah Asy-Syari’ah edisi Awas Bahaya Yahudi! No. 32/1428 H/2007.
2 Yaitu seseorang menjual barangnya kepada orang lain dengan cara kredit, lantas barang tersebut diserahkan kepada si pembeli. Kemudian (si penjual) membeli barang yang dijualnya tersebut secara kontan dari si pembeli tadi (sebelum lunas kreditnya) dengan harga yang lebih murah dari harga penjualannya. (Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 1, hal. 42)
3 Untuk lebih jelasnya, lihat Tafsir As-Sa’di saat menafsirkan ayat 8-10 dari Surat Al-Lail.

Posting Komentar untuk "Seputar Keuangan Syariah, Perbankan Syariah, Investasi Syariah"